Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pustaka dan Kurangnya Minat Baca Remaja di Indonesia, Apa dan Siapa yang Salah?

11 Juli 2022   21:55 Diperbarui: 12 Juli 2022   12:30 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minat baca anak (Sahabat Keluarga Kemendikbud/Fuji Rachman via edukasi.kompas.com)

Angka statistik menunjukkan bahwa orang Indonesia lebih suka menonton daripada membaca. Benarkah demikian?

Jika ada 1000 penduduk di Indonesia, maka yang benar-benar serius membaca hanyalah 1 orang saja. Berbeda sekali dengan budaya membaca orang Jepang yang boleh dikatakan sangat lebih baik.

Jepang menduduki peringkat ke 32 dalam hal ketertarikan membaca, sedangkan Indonesia berada dalam posisi ke 60. Banyak faktor yang mempengaruhi budaya membaca di Indonesia yang masih sangat kurang.

1. Keberadaan Pustaka Masih Sangat Terbatas 

Pustaka sebagai sebuah sarana untuk mengakses buku sangatlah minim. Di tingkat provinsi saja rasio jumlah penduduk dan pustaka masih belum mencukupi. Kalau kita bandingkan dengan Jepang, setiap kota dengan jumlah penduduk 50 ribu memiliki satu pustaka. 

Ada lebih kurang 2500 pustaka di kota-kota Jepang dengan koleksi lebih dari 650 juta buku secara keseluruhan. Berapa pustaka yang dimiliki setiap kota di provinsi di Indonesia?

Merujuk ke data pustaka nasional, ada 23.600-an pustaka di Provinsi dan desa di daerah, sementara kebutuhan nasional adalah 91 ribu pustaka. Artinya, jumlah pustaka yang ada di provinsi tidak sesuai dengan rasio penduduk.

Keberadaan pustaka yang masih terbatas di tempat-tempat tertentu membuat jangkauan pustaka tidak efektif. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat pustaka di Indonesia mampu menarik jumlah pengunjung.

Secara keseluruhan Indonesia memiliki 154 ribu pustaka di seluruh provinsi, sedangkan jumlah penduduk Indonesia adalah 273 juta. Artinya, Indonesia jelas mengalami defisit pustaka secara angka. 

Hongkong memiliki 300 pustaka untuk 7 juta jumlah penduduk. Ini berarti 1 pustaka bisa diakses untuk sekitar 23 ribu orang. Di New Zealand ada 300 pustaka umum untuk 1.4 juta penduduk. Coba bandingkan keduanya?

Dari total 77 ribu desa di Indonesia, hanya ada 23 ribu pustaka. Dalam satu kecamatan dalam kabupaten di Indonesia terkadang belum tentu ada satu pustaka yang layak untuk dikunjungi. 

Berapa jumlah tempat tongkrongan anak remaja dalam satu kecamatan? lebih dari 5 rata-rata, dengan fasilitas online untuk mengakses game dan lain-lain. 

Jadi, sangat masuk akal kenapa mayoritas orang Indonesia tidak suka membaca. Gimana mau suka, kalau fasilitas penyedia game online lebih mudah diakses dari pustaka.

Dengan akses smartphone yang sangat mudah, rata-rata remaja di di Indonesia lebih memilih duduk dua jam di depan layar HP ketimbang membuka 5 lembar buku. Yah, ini nyata dan realita. 

2. Pustaka Belum Mampu Menjangkau Dinamika Kebutuhan Masyarakat

Kenapa jumlah pembaca di Jepang lebih besar? Jawabannya karena pustaka di Jepang mampu menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Bagaimana dengan pustaka-pustaka di Indonesia secara umum? Rasanya sulit berkata jujur. Koleksi perpustakaan di Indonesia masih terbelakang. Mayoritas buku yang berada di rak-rak pustaka tidaklah menarik karena tidak mengikuti kemajuan jaman.

Fasilitas komputer untuk mengakses internet juga belum memadai untuk memberikan akses yang baik kepada pengunjung. Hal ini tentu membuat masyarakat enggan datang ke pustaka karena terkesan buang-buang waktu saja. 

Selain itu, data koleksi buku belum terintegrasi dengan baik antar pustaka baik itu antara pustaka daerah, kampus dan provinsi. Seharusnya seluruh database buku bisa di akses dengan satu akun oleh pengunjung.

Ilustrasi pustaka di New Zealand | Sumber: childrenofwanderlust.com
Ilustrasi pustaka di New Zealand | Sumber: childrenofwanderlust.com

Saat pengunjung memerlukan buku tertentu yang tidak dimiliki pustaka daerah, maka buku tersebut bisa dikirim melalui pos tanpa harus membayar karena seluruh pustaka bekerja sama dengan satu visi dan misi. 

Kebutuhan akan pustaka tidak hanya terpusat pada buku. Konsep pustaka harus dibangun dengan desain yang menarik terintegrasi dengan alam dan jika perlu berikan fasilitas nongkrong agar pengunjung betah. 

Membaca tidak lagi identik dengan meja dan kursi. Desain pustaka berbentuk outdoor  perlu dipikirkan agar pembaca tidak tersekat dengan dinding pemisah. Suasana menyenangkan dengan kolam ikan, pepohonan dan rerumputan harus bisa dirasakan oleh pengunjung.

Minat baca sangat tergantung pada suasana tempat orang menghabiskan bacaan. Kalau pustaka yang dibangun memberikan kesan yang sama dengan pola sekat menyekat akan sangat sulit membuat orang betah, terlebih anak-anak. 

3. Banyak Sekolah Tanpa Pustaka

Dari jenjang SD sampai SMA, ada sekitar 121 ribu pustaka sekolah dari jumlah 287 ribu yang dibutuhkan di seluruh Indonesia. Nah, berapa jumlah sekolah yang ada di Indonesia? untuk level SD saja ada 148 ribu sekolah aktif. Silahkan bayangkan!

Dengan memakai data diatas, untuk tingkat SD saja di Indonesia kekurangan 20 ribuan pustaka. Sementara minat baca sangat penting dipupuk dari tingkat SD.

Bagaimana kebanyakan pustaka di tingkat SMP dan SMA di Indonesia? Lagi-lagi saya sulit menjawab. Jika ada tiga kata sifat untuk mendeskripsikannya, maka saya akan berkata: membosankan, menyedihkan dan memilukan.

Pustaka di sekolah sangat sulit menarik pengunjung karena dibangun seadanya dan tidak menarik. Belum lagi berbicara dengan koleksi buku hasil sumbangan yang tidak relevan dengan tahun terkini dan konteks jaman.

Kalau ada 100 siswa, mungkin hanya 10-20an yang mau menghabiskan waktu ke pustaka sekolah. Itupun bisa sekedar melihat-lihat tanpa tujuan jelas. 

Ada banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki ruangan khusus untuk menempatkan buku. Apakah tidak ada dana? Mungkin iya dan mungkin tidak. Hanya sekolah yang tahu!

Kalau mau berbenah, sekolah tingkat SD WAJIB memiliki pustaka dengan koleksi lengkap, setidaknya buku penerbit lokal kualitas terbaik harus ada di setiap pustaka sekolah level SD.

Jika perlu, ijin sekolah wajib menyediakan pustaka lengkap. Sekolah tanpa pustaka dengan koleksi lengkap tidak boleh dibuka dan sekolah yang koleksi buku masih sedikit diberikan subsidi dari pemerintah pusat dan daerah.

Desain gedung pustaka harus lebih menarik dari ruangan kelas. Undang arsitek terbaik bangsa untuk mendesain pustaka dengan konsep bermain. Misalnya, setiap ruangan dalam pustaka memiliki jenis permainan yang bisa di akses dengan terlebih dahulu dengan membuka buku tertentu.

Jadikan membaca menjadi rangkaian permainan yang dilakukan anak setiap masuk ke ruangan tertentu dengan tema yang sudah terstruktur sesuai level bacaan disesuaikan dengan umur. 

Sudah waktunya membuang konsep ruangan pustaka yang membosankan dengan rak-rak buku penuh debu. Saatnya mendesain konsep sesuai kebutuhan jaman. 

Kenapa anak sekarang lebih mau menghabiskan waktu di depan smartphone ketimbang pustaka? Jawaban yang pasti karena pustaka tidaklah menarik bagi mereka. 

Menambah koleksi buku dengan konsep bangunan dan ruangan yang sama tidak akan bisa meningkatkan minat baca. Percayalah! Kita saja orang dewasa baru mau baca sebuah buku jika judulnya menarik. 

Budaya membaca itu tidak datang dengan hanya menambah koleksi buku dalam sebuah ruangan. Pemerintah perlu mengubah fungsi pustaka menjadi tempat tongkrongan yang menyenangkan bagi keluarga.

Referensi (1), (2), (3), (4), (5), (6)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun