Dengan suara terdengar serak Kia berujar "lalu bagaimana adik-adik jika Kia harus pergi ke kota, bukankah mereka masih kecil?"
Kia terlihat lebih dewasa dan bersikeras ingin menetap di kampung tempat ia dilahirkan agar tetap bisa membantu keluarga dan menemani kedua adiknya.
"tidak perlu Kia hiraukan adik-adikmu, biarkan ayah dan ibu yang memikirkan mereka" lanjut ayahnya.
Kia lantas terdiam dan perlahan menuju kamarnya yang menyatu dengan dapur. Sebuah foto pemandangan kota di sudut dindig kamar membuatnya terlelap membayangkan kehidupan kota jika ia harus meninggalkan kampung halaman.
Keputusan ayah dan ibunya sudah bulat. Keduanya telah merelakan Kia untuk menimba ilmu di kota walau pada kenyataannya begitu berat terasa.Â
Tanpa diketahui Kia, ayah dan ibunya sudah berutang uang untuk modal Kia menetap di kota besar. Mereka juga menjual sepetak tanah kebun dekat pegunungan untuk menyewa kamar agar Kia bisa nyaman belajar nantinya.Â
Padahal tanah tersebut memberikan hasil panen yang cukup dipakai untuk hidup adik-adiknya setiap bulan. Ayahnya melepas tanah hasil warisan ibunya kepada tengkulak kampung yang juga menaruh hati pada Kia.
Tibalah pada hari Kia harus meneteskan air matanya. Sebuah mobil pickup sudah terpakir di sudut jalan rumahnya. Barang-barang bawaan yang disiapkan ibunya kini siap diangkat.
Kia masih terduduk kaku memeluk kedua adiknya. Sesekali jari-jarinya menutupi mata merah yang sejak pagi terlihat basah. Ia tak kuat untuk mengangkat barang karena enggan melepas pelukan bersama kedua adiknya.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H