Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Awas! Emosi Orangtua Mempengaruhi Regulasi Emosi pada Anak

8 Juni 2022   09:50 Diperbarui: 12 Juni 2022   08:36 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua memarahi anak (Sumber: shuttestock)

Kondisi emosi antar anak bisa sangat tergantung bagaimana mereka dibesarkan. Lingkungan tempat anak berinteraksi memiliki peran penting pada kemampuan regulasi emosi sang anak.

Secara alami anak masih belajar meluapkan emosi pada umur 1-7 tahun. Bagaimana orangtua berinteraksi dengan anak sangat menentukan kemampuan anak meluapkan emosi. Kenapa demikian?

Sejatinya, otak anak pada umur 1-7 tahun memerlukan input yang baik agar bisa memiliki ouput  yang berimbang. 

Orangtua yang sering marah pada anak akan membentuk input yang buruk yang kemudian direkam anak dan menjadi output.

Di sini sebagai orangtua, kita perlu memahami bahwa segala tindakan kita memiliki efek permanen pada otak anak. Apa yang kita kita perlihatkan pada anak, cara berkomunikasi, nada dan intonasi bicara, akan secara otamatis menjadi input bagi otak anak.

Buah tidak jatuh jauh dari pohon

Tentu kita sangat familiar dengan pepatah di atas. Setidaknya dalam konteks membesarkan anak, pepatah ini bisa dianggap benar. neuron dalam otak anak akan menyimpan segala sesuatu yang dilihat dan didengar. 

Porsi interaksi anak paling besar didapat dari kedua orangtua. Walaupun pada sebagian keluarga dengan kondisi pekerja anak banyak menghabiskan waktu bersama pengasuh.

Perlu dipahami bahwa kemampuan anak meregulasi emosi tidak datang secara instan. Kesalahan terbesar orangtua adalah mengharap anak untuk mampu berlaku 'baik' tanpa memberi input yang baik pada anak.

Akhirnya anak secara tidak langsung mengcopy-paste dari apa yang mereka lihat sehari-hari. Ada orangtua yang memiliki hobi marah-marah pada anak, akibatnya anak tumbuh dengan emosi yang tidak stabil yang juga akan mudah marah.

Sebaliknya, orangtua yang sabar akan sangat hati-hati memilih kata-kata saat berinteraksi dengan anak dan berusaha untuk sebaik mungkin berlaku positif pada anak sehingga anak tumbuh dengan kemampuan regulasi emosi yang sangat baik.

Kenapa ada anak yang sulit diatur?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat banyak anak yang 'sulit' diatur. Yah, bisa jadi ini persepsi orangtua yang salah. karena pada hakikatnya, mudah dan tidaknya seorang anak diatur tergantung pada persepsi orangtua itu sendiri.

Ada orangtua yang akan marah saat anak tidak melakukan apa yang diminta, ini menyebabkan orangtua mengeluarkan kata-kata yang tidak baik pada anak.

Ilustrasi gambar: https://gcpawards.com
Ilustrasi gambar: https://gcpawards.com

Secara tak sadar anak merekam apa yang didengar dan jika terus mendapat input seperti itu maka anak menerjemahkan kata-kata tersebut menjadi sebuah belief yang lama-kelamaan akan menjadi values.

'Dasar, anak sulit diatur', 'kerjaannya tiduran aja', 'nakal sekali kamu', 'dasar anak pemalas'.

Coba bayangkan jika kita sebagai orangtua mendengarkan ucapan seperti itu, jengkel atau tidak? 

Nah, hal yang sama juga dirasa anak, jika terus menerus mendengar ucapan seperti itu mereka akan tumbuh dengan belief yang sama. 

Anak akan menganggap dirinya pemalas, susah diatur, atau nakal. Buruknya lagi anak akan menjadikan kata-kata ini menjadi values yang ia bawa dalam hidup.

Ini menjadi alasan penting kenapa orangtua sangat perlu menjaga lisan sebelum berucap. Selain ucapan itu adalah do'a, kekuatan kata-kata akan melekat tajak pada memori jangka panjang anak. 

Anak Melihat Contoh yang tidak Tepat

Anggapan orangtua tehadap anak sebenarnya datang dari bagaimana mereka berinteraksi dengan anak. Orangtua yang jarang memberi contoh kepada anak memiliki sudut pandang berbeda jika dibandingkan dengan orangtua yang memperlihatkan contoh baik pada anak.

Sebagai contoh, anak yang sering melihat orangtua tidur-tiduran akan membawa sifat yang sama. Saat orangtua memarahi anak karena tidur-tiduran, maka sebenarnya mereka sedang memantulkan cermin pada dirinya.

Berbeda jika orangtua sering bangun cepat dan mengajari anak cara agar bisa bangun cepat, anak akan menggabungkan dua informasi: apa yang dilihat dan apa yang didengar. Keduanya akan menjadi input di otak.

Jika orangtua bangun telat kemudian memarahi anak karena bangun kesiangan, maka informasi yang dilihat anak tidak sinkron dengan apa yang didengar anak. 

Inilah mengapa penting bagi orangtua untuk terlebih dahulu memberi contoh dengan memperlihatkan ketimbang mengharapkan anak untuk melakukan sesuatu tanpa arahan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun