karakter anak bisa terbentuk dari tontonan. Loh, kok bisa?Â
Tahukah kita para orangtua bahwaMari kita bahas secara lengkap!Â
Pertama, secara ilmu neurology otak anak berkembang dimulai dari trismester kedua kehamilan, jadi bagi ibu hamil masa empat bulan keatas, berhati-hatilah akan apa yang anda tonton. Karena apa yang anda lihat dapat diserap oleh otak janin dalam kandungan.Â
Kedua, paska melahirkan otak mengalami perkembangan pesat sampai umur tujuh tahun. Ini gerbang masuknya informasi bagi anak secara verbal dan visual. Apa yang didengar dan dilihat menjadi sumber ilmu dan akhirnya membentuk sebuah karakter dari hasil visualisasi. Semakin sering seorang anak terekpose dengan hal-hal baik maka semakin baik karakter yang akan direpresentasikan olehnya, begitu juga sebaliknya.Â
Ketiga, filter untuk membedakan baik dan buruk pada anak belum bisa terbentuk pada masa 1-7 tahun. Makanya apa yang masuk dari yang didengar dan dilihat tidak bisa dipilih dan dipilah. Semua akan berakhir pada ruang penyimpanan memori anak. Buruknya, segala sesuatu yang sering dialami anak apakah dari yang dilihat atau didengar akan menetap dan menjadi memori jangka panjang yang kemudian akan membentuk kepribadian anak secara otomatis (by default).Â
Sampai disini apakah anda percaya? Kalau tidak, saya akan lanjutkan lebih rinci.
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang Allah ciptakan dengan nafsu dan akal. Uniknya, nafsu tidak boleh berada diatas akal agar bisa menfilter buruk dan baik. Akal juga tidak bisa berfungsi tanpa ilmu. Makanya seseorang perlu berilmu agar bisa menahan nafsunya ke jalan yang baik. Tanpa ilmu seseorang akan memakai akalnya diluar koridor atau kemampuan nalarnya.Â
Kembali kepada karakter anak. Masa kehamilan adalah fase penting seorang ibu memulai kebiasaan yang baik, karena ini akan menurun ke anak. Lagi-lagi saya ingin mengingatkan bahwa apa yang dilihat ibu akan juga masuk ke otak anak, apalagi yang dirasa ibu. Ini adalah awal pembentukan bonding  pada ibu. Penelitian pakar neurology yang bukan hoaxs atau bohong. Salah satu penelitian yang sudah pernah saya tuliskan dulu tentang efek stres pada ibu hamil menyebabkan trauma pada anak dan menyebabkan otak tidak berfungsi secara maksimal.Â
Dalam konteks karakter, informasi yang masuk ke otak anak akan menetap dan menjadi database yang kelak akan disortir saat filter mulai terbentuk dan berfungsi. Seharusnya, orangtua berfungsi sebagai filter utama untuk anak pada masa 1-7 tahun umur anak. Sehingga, anak bisa mulai membedakan yang baik dan buruk dari apa yang orangtua tu jukkan. Sayangnya, orangtua banyak yang gagal membentuk filter ini saat anak masih kecil, sehingga anti-virus pada anak tidak berfungsi saat mereka beranjak dewasa.Â
Kenapa banyak anak yang susah diatur?Â
Banyak orangtua yang mengeluh bahwa anaknya sulit diatur dan bahkan tidak sopan pada orangtua. Tapi lucunya, tidak sedikit orangtua yang paham bahwa ini semua adalah karena mereka sendiri. Orangtua mengabaikan peran mereka sebagai tameng masuknya informasi kepada anak dari apa yang mereka bicarakan dan tingkah laku mereka didepan anak.Â
Bahkan, banyak orangtua yang mengaku"sibuk" lebih memilih memberikan smartphone kepada anak sebagai bentuk Kasih sayang. Padahal, inilah awal masuknya I formasi yang tidak bisa dikontrol orangtua. Mungkin niat orangtua baik, tapi caranya salah. Alhasil, anak bebas menyerap apapun dari apa yang ditonton.Â
Lama kelamaan anak terbiasa dan menganggap apa yang ia lihat adalah hal benar. Jika yang mereka lihat baik, maka baiklah karakter mereka namun jika tontonan itu buruk maka sungguh ini menjadi database selamanya. Dan parahnya, apa yang melekat dari 1-7 tahun itu akan sangat sulit dihapus atau dipeovram ulang.Â
Dan jika kita melihat lebih jauh, akar masalah atau dalang dari buruknya karakter anak adalah dari apa yang mereka lihat. Bisa saja bukan dari smartphone, tapi dari kelakuan orangtuanya yang tidak mencerminkan karakter yang baik. Danau yang jernih tidak mungkin merusak ikan didalamnya. Begitupula orangtua dengan karakter baik tidak akan menghasilka anak dengan kepribadian buruk. Ingat! Setiap anak pada hakikatnya bersih dan orangtua lah yang memilih untuk menjaganya atau menelantarkannya.Â
Efek teknologi pada anak dibawah umur lebih besar membawa mudharat daripada manfaat jika tidak didasari ilmu. Tontonan diera layar sentuh tidak mengenal batas umur. Semua  bisa berujung pada degradasi moral jika tidak diawasi sejak dini. Jika sudah terjangkiti atau bahkan ternodai, maka tidak ada arti menangisi walau dengan niat tulus dari hati.Â
Membesarkan anak harus benar-benar menguasai ilmu sesuai masanya. Dulu saat Internet belum ada, orangtua tidak perlu risau karena sumber informasi lebih banyak dari aktifitas fisik yang lebih mudah dimontrol dan difilter. Berbeda dengan saat ini dimana sumber visual lebih mendominasi otak anak. Jadi, orangtua butuh ekstra hati-hati memberikan fasilitas seperti smartphone jika tidak mampu mengontrol secara bijak.Â
Saat ini kecanduan smartphone juga bisa menyebabkan anak menjadi malas, dan berdasarkan hasil penelitian juga berakibat buruk bagi perkembangan anak secara intelektual dan terlebih emosional. Anak yang condong aktif didepan smartphone akan mengalami masalah saat berinteraksi secara sosial. Sehingga mereka akan sulit be kerjasama secara tim saat dewasa kelak.Â
Yang perlu diperhatikan orangtua adalah membatasi smartphone pada anak sebaik mungkin. Bahkan untuk anak dibawah 7 tahun sebaiknya tidak dikenalkan terlebih dahulu dan Fokus pada aktifitas fisik untuk membentuk rangsangan pada saraf motorik. Memang ini adalah hal yang sulit apalagi jika sebagai orangtua kita tidak membatasi diri memakai smartphone didepan anak. Namun, jika ingin anak tumbuh normal secara intelektual dan emosional kita harus rela mengedepankan anak dari sekedar kebutuhan akan informasi.Â
Ringkasnya, Informasi yang paling banyak diserap anak secara visual akan membentuk sebuah konsep berpikir dalam diri anak sehingga berujung pada sebuah karakter dengan kepribadian tertentu. Informasi ini menetap di pikiran bawah sadar yang kemudian menjadi pola berpijak anak saat dewasa. Jika informasi ini bisa dipilih oleh orangtua saat anak masih kecil maka Kan menjadi fondasi yang membentuk karakter baik pada anak.Â
Komunikasi dan interaksi fisik orangtua dan anak adalah faktor yang sangat berkontribusi pada kecerdasan anak secara emosional. Hal ini tidak bisa diperoleh disekolah sebagaimana kecerdasan intelektual. Anak yang Cerdas secara emosional akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan memiliki empati yang baik. Dan ini hanya terbentuk dari hubungan orangtua secara fisik bersama anak saat kecil.Â
Orangtua punya kesempatan dan pilihan untuk membentuk karakter anak yang diinginkan sejak sedari kecil, tentu bukan dari tontonan melainkan dari ketauladanan yang diperlihatkan. Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membersamai anak dengan aktifitas yang melibatkan anak secara emosional, bermain dan belajar bersama.Â
Jika orangtua tak mampu menginvestasi waktu bersama anak, maka mereka akan kehilangan segalanya saat anak dewasa. Secara kasatmata kecerdasan intelektual bisa diwarisi dengan berbagai sertifikat olimpiade atau sejenisnya, namun kecerdasan emosional akan melekat dalam hati orangtua saat nilai empati anak lebih besar dari rentetan prestasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H