Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bagaimana Akhir Hayat Kita?

24 November 2019   10:25 Diperbarui: 24 November 2019   10:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bang Zaki seorang pemuda santun dan baik. Hampir semua temannya mengakui kebaikannya karena hampir tidak pernah ada ucapan yang tidak baik keluar dari mulutnya. Dalam keluarga bang Zaki merupakan anak sulung yang paling dekat dengan ibunya. 

Tidak seperti kebanyakan laki-laki seumur annya, bang Zaki selalu berusaha hadir di pengajian dikampungnya dan selalu menjaga shalat berjama'ah di Mesjid. Walau terkadang bang Zaki harus keluar kota untuk menjalani tugas kantor, tapi ia tetap menjaga shalat lima waktu. 

Karena sifat santunnya, bang Zaki memiliki teman dimana saja tanpa terbang pilih. Hampir semua orang mengenali bang Zaki, termasuk tukang parkir di pasar yang selalu mendapat uang lebih darinya. Saat membeli sayuran, bang Zaki tidak pernah menawar, bahkan ia selalu membeli dengan harga dua kali lipat dan melebihkan. Wajar saja hampir semua ibu-ibu pe jual sayur tahu namanya. 

Saat temannya kesulitan, bang Zaki tanpa diminta akan mengulirkan tangannya. Terkadang uangnya bisa habis sekejap hanya untuk membantu teman. Pernah suatu ketika ia tertipu dan belasan juta uangnya raib ditangan teman dekatnya. Tapi bang Zaki tidak pernah marah, bahkan ia tidak pernah mempermasalhkan.Baginya rejeki itu dari Allah, dan kembali kepada Allah. 

Tepat satu tahun setelah menikah, bang Zaki dianugerahi seorang anak laki-laki. Bang Zaki sangat mencintai istrinya dan selalu bersikap lembut dan memenuhi permintaan istrinya. Walau terkadang harus menetap di Kota lain untuk beberapa hari, bang Zaki tetap memprioritaskan keluarga. Setiap akhir pekan, ia tidak pernah absen mengajak istri dan anaknya ke tempat wisata. 

Bang Zaki sangat memuliakan ibunya, setiap bulan ia menyisihkan uang hasil kerjanya untuk diserahkan ke ibunya. Tanpa sepengetahuan ibunya, bang Zaki juga mendaftarkan ibunya umrah. Tanpa diminta ibunya, bang Zaki selalu ringan tangan membantu ibunya di dapur. Dulu saat kecil, bang Zaki sering melihat almarhum ayahnya kerap membantu ibunya di dapur. Memori masa kecilnya menjadikan bang Zaki sosok pewaris sifat ayahnya. 

Suatu ketika saat hendak makan, bang Zaki menyerahkan amplop ke ibunya. Lantas, sang Ibu bertanya, "apa ini, nak?" segera bang Zaki menjawab "buka saja, mak" 

Tidak menunggu lama sang ibu membuka amplop perlahan dan mendapati sebuah tiket umrah. Tak terasa air mata jatuh tak tertahankan sambil memeluk bang Zaki. "terimakasih, nak!" ujar sang ibu sambil mengusap kedua matanya. Bang Zaki terus memeluk ibunya dan tanpa sadar kedua matanya mulai meneteskan air. 

"mak, sudah lama Zaki ingin menghadirkan ini untuk mak. Mungkin baru hari ini tercapai" sambung bang Zaki. Suasana harupun tak tertahankan. 

Singkat cerita bang Zaki dan ibunya sampai ke Makkah untuk melaksanakan umrah bersama. Walau ayahnya sudah tiada, untaian do'a tak lupa bang Zaki hantar didepan Ka'bah, dan juga bagi istri dan anaknya tersayang. 

Saat tiba kembali dirumah, bang Zaki semakin ta'at beribadah. Kerjaan kantor tidak lagi diprioritaskan. Bang Zaki hanya fokus pada pekerjaan utamanya dan perjalanan keluar kota ia kurangi. Waktunya lebih banyak habis untuk keluarga dan menuntut ilmu agama. 

Sampai suatu hari bang Zaki mendapati ada yang aneh di tubuhnya. Kaki kirinya tidak bisa ia gerakkan. Istrinya panik dan langsung mengabari ibunya yang sedang beristirahat. Tak menunggu lama, bang Zaki tiba di rumah sakit dan menjalani pemeriksaan di ruang saraf. 

Pintu runag konsultasi terbuka dan dokter memanggil keluarganya. Sang ibu tanpa diminta segera masuk dan mendengar penjelasan dokter. "buk, hasil pemeriksaan dari lab menunjukkan ada masalah saraf di bagian otak anak ibu, sehingga kakinya lumpuh" lanjut dokter. 

Bang Zaki yang sedang berbaring terlihat santai sambil tersenyum berucap"jangan khawatir, mak! Zaki baik2 saja". Tak ada kekhawatiran sedikitpun saat mendengar penjelasan dokter bahwa ia mengalami kelumpuhan. Bahkan, paras wajahnya seperti orang yang baru menerima berita bahagia. 

Dokter lantas memanggil anak dan istri bang Zaki kedalam dan kembali menjelaskan apa yang terjadi. Sesaat mendengar penjelasan dokter, Zaskia, istri bang Zaki seakan tak menerima. Mukanya terlihat syok dan tak berkata apapun. Anak bang Zaki yang masih kecil belom mengerti apa yang sedang terjadi. 

Karena tak lagi dapat berjalan, bang Zaki terpaksa harus melepaskan pekerjaannya dan mengambil pensiun dini. Walau tak lagi mampu bergerak bebas, shalat lima waktu tetap ia jalankan seperti biasanya. Sesekali ia berjalan ke Mesjid dengan bantuan tongkat demi shalat berjama'ah. 

Istri bang Zaki tak lagi seperti biasa, raut wajahnya seperti orang dirudung musibah. Sikapnya pada bang Zaki tak lagi mesra. Kadang ia membantu, kadang ia mengurung diri didalam kamar seakan tak menerima keadaan. Bang Zaki tak pernah marah, sifatnya yang ramah tak pernah berubah. Ia tak mau merepotkan siapapun dengan keadaan kakinya yang lumpuh. 

Tahun berganti dan keadaan bang Zaki tak kunjung membaik. Zaskia sudah bekerja disebuah perusahaan dan kini sering berada diluar rumah. Saat pulang kerumah istri bang Zaki tak lagi seperti biasa. Zaskia lebih banyak diam dan hanya membantu suaminya sesekali saja. Sikapnya berubah total semenjak bekerja diperusahaan bonafit. Gajinya lumayan besar, namun ia jarang berbagi kepada bang Zaki. 

Mendapati istrinya yang berubah, bang Zaki tetap memuliakan istrinya selayak saat sehat. Uang pensiunannya tetap ia berikan kepada Zaskia tanpa ia kurangi sedikitpun. Sisanya selalu bang Zaki serahkan ke ibunya untuk keperluan harian dirumah. Seringkali sang ibu menolak tapi bang Zaki selalu memaksa ibunya untuk menyimpan uang yang ia berikan. 

Suatu ketika sesudah shalat magrib, bang Zaki mendapati tubuhnya sedikit dingin. Lantas ia berujar kepada sang istri, "adik, tolong ambilkan baju shalat ab dan sarung di kamar". Padahal bang Zaki saat itu sudah berpakaian rapi untuk shalat magrib. Permintaannya terasa aneh dan tak masuk akal. 

Walau demikian, Zaskia tetap mengambil baju dan sarung sesuai permintaan suaminya. Bang Zaki kemudian menuju kamar ibunya dan meminta sang ibu untuk shalat isya bersamanya. 

Selesai mengambil wudhu', bang Zaki segera mengganti sarung dan bajunya yang ia minta kepada Zaskia, istrinya. Bang Zaki lalu meluruskan sajadah di ruang shalat, dan ibunya tepat berada dibelakang. Anaknya tanpa diminta sudah berpakaian rapi ingin shalat bersama ayah. 

Bang Zaki mulai mengimani shalat, anak dan ibunya berada dibelakang sebagai makmum. Sampai di raka'at terakhir ketika sujud bang Zaki begitu lama. Hampir 5 menit ia tak bangun, dan ibunya merasa ada yang aneh. Tak menunggu lama, sang ibu terpaksa mengakhiri shalatnya dan melihat ke arah Zaki, anaknya. Tubuhnya tetap dalam keadaan bersujud tanpa bergerak sedikitpun. 

"Zaki, Zaki, ayo bangun, kenapa lama sekali" sambil menepuk pundak anaknya. Tak ada balasan dari bang Zaki. Saat tangan ibunya mengangkat tubuh Zaki, ia mendapati matanya tertutup dan tak lagi bernafas. Wajah bang Zaki terlihat begitu cerah seakan mendengar kabar gembira. "inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un" ucap sang ibu sambil meneteskan air mata ke wajah anaknya. 

Bersambung.... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun