Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Tak pernah lepas mataku menatap wanita cantik berambut panjang nan halus itu. Baik di sekolah, angkut, maupun di sudut-sudut jalan tak pernah lepas pandanganku padanya. Sampai suatu hari kubulatkan keberanianku untuk berbicara lagi dengan bidadari yang satu ini. “Udah ajak ngomong aja dia. Dari pada aku yang ngomong nih” Ucapan Parman semakin mendorongku untuk mengajaknya berbicara “Vit, masih inget aku kan?” “Iya? Anhar kan? Yang nemuin dompet aku waktu itu?” “Iya betul banget, aku kira kamu udah lupa hehe” “Mana mungkin aku lupa sama pahlawan penyelamat dompetku” Mendengar kata-katanya ingin terbang rasanya “Kamu kalau pulang sekolah selalu naik angkutan ini ya? Emang rumahmu dimana Vit? “Rumahku di benhil Har, tau kan?” “Oh tau kok tau deket Karet kan itu” “Iyak betul banget” “Kiri bang” Teriak Vita dengan suara lembutnya sambil menghentikkan jarinya kea tap angkut “Har aku turun disini ya, duluan ya Har” “Eh iya Vit, hati-hati yak” Senyum Vita membalas ucapanku “Nian benar senyummannya ya Har” Ucap Parman menatap wanitaku.
Lima tahun telah berlalu, kini aku bekerja di salah satu Bank Konvensional di ibu kota Jakarta. Banyak orang bilang bahwa “Masa SMA adalah masa terindah dalam hidup” Ya, aku merasakannya. Selulus aku dari SMAN 32 Jakarta tak pernah terdengar lagi nama Parman, karibku yang harus melanjutkan gelar S1 nya di negeri paman Sam. Siapa sangka lelaki kurus berkumis tipis yang menemani 3 tahun ku di SMA mendapatkan beasiswa di Amerika Serikat. Vita pun primadona Sparatiz tidak terdengar lagi namanya di telingaku, ada yang bilang ia telah menikah dan ada pula yang bilang ia melanjutkan S2 nya di negeri kincir angin Belanda. Tapi yang pasti ku tahu, siapapun yang mendapatkan hati wanita berparas cantik kulit seputih susu dan rambut hitam panjang halus pasti ia sangat beruntung.
Pagi ini ku buka kotak surat didepan rumahku, surat demi surat ku balik. Sampai satu surat undangan pernikahan yang membuat aku terpana yang bertuliskan “Parman Arifin, B.E, M.R.E dan Vita Pramesti Sari, B.E” Kubuka lembar demi lembar isi undangan itu, siapa sangka lelaki kurus yang sering bertingkah konyol ini bisa mendapatkan wanita cantik nan ayu, gelar magister pendidikan agama pun telah dimilikinya. Seminggu lagi pernikahannya dilaksanakan, perasaan campur aduk ini membayangiku. Antara percaya tidak percaya “Masa iya? Parman? Vita?” Tanda tanya besar tertuliskan di dalam pikiranku “Bagaimana bisa?”
Kubuat secangkir kopi dan kuambil sebungkus biskuit untuk menenangkan fikiran ku. Semenjak kepergian kakakku Delima, segala sesuatunya harus aku lakukan seorang diri. Kini aku tinggal seorang diri di sudut ibu kota Jakarta, Karet. Memang nasib hidup seseorang tiada yang tahu. Kalau difikir-fikir memang tidak masuk akal, tapi kita hanyalah pelakon dari mahakarya Sang Pencipta.
Satu minggu telah kulalui, rasa tak sabar ini terus mengantui hatiku. Aku penasaran bagaimana rupa lelaki kurus berkumis tipis yang dahulu selalu menemani manis pahitnya SMA ku, aku penasaran bagaimana rupa primadona Sparatiz yang berparas cantik berkulit seputih susu rambut hitam halus terurai itu.
Di undangan tertulis waktu resepsi di mulai pukul 7 malam, jam dinding di sudut kamar ku sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sudah sepantasnya aku melaksanakan shalat maghrib dan segera bersiap-siap memenuhi undangan pernikahan karibku ini. Setelan kemeja putih dan dasi hitam yang dibalut dengan jas hitam serta celana hitam panjang dan sepatu kulit yang telah disemir telah ku kenakkan, aku juga ingin terlihat tampan didepan sahabat lamaku dengan pengantinnya yang dulunya adalah wanita idamanku.
Sepanjang perjalanan ke hotel Shangrila tempat mereka melangsungkan pernikahan, jantung ini berdegub begitu kencang, kedua tanganku yang memegang stir mobil pun ikut bergetar. “Kenapa aku gugup begini? Yang mau nikah kan parman bukan aku” Menit demi menit telah ku lalui di perjalanan, akhirnya sampai juga di hotel mewah berbintang ini. Ku berhentikkan mobilku di depan pintu utama dan memberikan kunci mobil ku ke valet yang telah berbaris rapih di pintu utama menunggu mobil-mobil untuk di parkirkan di basement.
Ku langkahkan kaki-kaki ku ini untuk masuk ke ball room tempat pernikahan mereka dilaksanakan. Perempuan-perempuan cantik yang duduk di depan ruangan menyambutku dengan ramah saat aku mengisi daftar undangan. Tiba-tiba salah seorang perempuan berkebaya emas menyapaku dengan lembut “Ka Anhar ya?” Aku menoleh dan yang kulihat ialah gadis cantik bertubuh semampai “Iya, siapa ya?” Ribuan pertanyaan melintas di pikiran ku siapa gadis cantik ini “Ih ini aku ka, masa lupa. Neli, adik mas Parman. Dulu kan kaka sering main kerumah masa lupa sih” Aku tercengang melihat gadis kecil yang dulu duduk di bangku smp kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang independen “Oalah Neli, pangling kaka abisan. Udah 5tahunan kan gaketemu semenjak keluargamu pindah dan masmu ke amrik. Wah Neli udah besar ya sekarang” “Iya yah ka udah 5 tahun, udah besar lah masa kecil mulu sih hehe. Mari ka aku temani menemui mas Parman dan mba Vitanya” “Waduh boleh-boleh tuh”
Sepanjang langkah kami menemui sang pengantin, mataku di manjakan dengan foto-foto pre-wedding mereka yang terletak di sudut-sudut ruangan, dengan nuansa warna emas dan merah semakin memberikan kesan mewah acara ini. Antrian demi antrian kami lalui, berbagai pembicaraan pun telah aku utarakan dengan Neli, semakin lama kami berbincang semakin aku takjub dan kagum dengan gadis ini. Tak hanya tubuh semampai, wawasannya pun luas.
Setiba kami di panggung, ku lihat sosok laki-laki gemuk yang berjenggot tebal dengan mempelainya wanita cantik yang kini telah terbalut rambut hitam indahnya dengan lembaran kain yang menghiasi kepalanya. “Oy Har! Ini nih yang aku tunggu-tunggu, datang juga kamu” Ucap Parman sambil merangkul tubuhku “Wah! Selamat sahabatku Parman! Ga nyangka sama sekali aku, aku kira undangan itu boongan. Hebat kamu Man! Hebat! Selamat ya sekali lagi, semoga pernikahan kalian selalu bahagia sampai ajal memisahkan” “Aamiin, Aamiin terimakasih banyak Har! Maaf nih ya aku colong wanita idamanmu haha” tertawa Parman dengan suara besarnya yang kini telah berubah “haha iya gapapa kan abis ini aku sama Neli, yak an Nel? Senyum Neli dan Vita mendengar perkataanku “Wets.. wets.. nanti dulu tunggu gelar adik kesayanganku ini turun dulu” “Siap-siap aku tunggu sampe S3 kalau perlu” “Iya iya silahkan makan silahkan makan kita harus nongkrong bareng nanti mumpun aku disini, bulan depan aku balik ke amrik dan tinggal disana” “Iya atur aja atur pak bos”.
Lega rasanya bertemu dengan karibku yang satu ini, kehidupannya penuh dengan kejutan. Satu hal yang ku sesali ialah tak hadirnya diriku disampingnya di saat-saat ia mencapai keberhasilannya. Tapi melihatnya malam ini bersanding dengan wanita idamanku, begitu lega dan bahagia rasanya.