Kembali dengan Kelenteng Hok Ling Bio, saat ini masih di bawah Yayasan agama Budha. Dari keberadaan bangunannya masih cukup baik, namun tidak menghilangkan sisi usia yang cukup tua dari kelenteng ini. Dalam kunjungan bersama teman-teman Cerita Kudus Tuwa, kita juga mendengarkan sedikit riwayat dan kelenteng dan lingkungan sekitar. Selain bangunan kelenteng, rumah di sekitarnya masih menyisakan bangunan dan arsitektur gaya Tionghwa. Daerah sekitar juga banyak terdapat Tionghwa peranakan hingga kini dan notabene pemilik toko.
Kelenteng Hok Ling Bio yang masuk Cagar Budaya Kabupaten Kudus merupakan kelenteng yang cukup menarik. Selain berdekatan dengan Menara Kudus, juga merupakan saksi bisu saat kerusuhan yang membuat luka sangat dalam. Keberadaan kelenteng di lingkungan masyarakat Jawa muslim dan sebagian keturunan Arab, merupakan simbol toleransi, asimilasi dan akulturasi yang indah. Dari penuturan Bapak Goei Tjwan Gie, kelenteng ini hamir 32 tahun tidak ada aktivitas. Baru semenjak Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur, kegiatan yang sifatnya simbolik mulai di jalankan.
Di bangunan awalnya arah pintu depan terdapat patung singa yang terbuat dari batu. Namun pasca kerusuhan Geger Pecinan 1918, yang sedikit banyak membuat perubahan pada kelenteng tsb. Saat ini sudah mengalami dua kali renovasi yaitu tahun 1889 dan 1976. Untuk bangunan aslinya yang tersisa, yaitu kusen dan pintu masuk, dua buah jendela (kanan dan kiri), empat buah pintu motif ukiran China, serta saka dari kayu jati. Di pintu masuk pertama, ada dua patung Singa dan dua patung Kilin, sementara di depan bangunan kelenteng, hidup pohon Dewa Daru yang sering diambil kayunya untuk kepentingan khusus.
Pada pilar-pilar kelenteng terdapat tulisan dekoratif (tuilian) bisa di sebut juga kaligrafi Cina. Berupa syair-syair dan doa-doa harapan untuk kebaikan, sesuai dengan dewa-dewa di kelenteng tsb. Salah satu pilar yang saya abadikan bisa di artikan "Berkah, keutamaan dan kehormatan tercurah ke segala penjuru, melindungi rakyat". Jadi kelenteng merupakan pusat untuk mencari keberkahan, menghormati Sang Pencipta dan melindungi masyarakat atau warga di sekitarnya. Dari sini betapa masyarakat saat itu saling menghormati, rukun dan bersinergi.
Jika dilihat dari halaman Taman Menara, kita bisa melihat bangunan di sekelingnya. Barat Kelenteng Hok Liong Bio terlihat bangunan Masjid Madureksan(Padureksan). Nampak dari arah itu bagian baratnya lagi adalah bangunan Menara dari Masjid Menara Kudus (masjid Al Aqsa). Pada bagian kanan terdapat pohon beringin dan deretan toko-toko bangunan baru (sebaliknya bangunan rumah lama).
Dari hal itu sebenarnya kita bisa menelaah, betapa dulu suasana itu sudah terjalin dengan baik di kawasan ini. Karena dari struktur tata letaknya sudah berdampingan dengan baik. Dari kelenteng, pemilik toko Cina, masjid dan bangunan Arab menjadikan daerah ini sebuah area yang indah. Jika di tarik garis lurus dari Kelenteng Hok Ling Bio ke arah Masjid Madureksan(Padureksan) dan Masjid Menara Kudus adalah garis lurus.
Di sekeliling Taman Menara kita bisa melihat, Â Kelenteng, toko-toko (Tionghwa dan Jawa), pohon beringin dan masjid. Kita bisa merasakan sisi toleransi yang tercermin hingga kini masih terjaga (walaupun dulu sempat cidera "Geger Pecinan"). Namun karena saat ini sudah banyak bangunan, sehingga tidak kelihatan pandangan secara garis lurus tersebut.
Taman Menara
Taman Menara pada umunya orang Kudus menyebutnya, kendati saat ini di beri penyebutan baru sebagai Alun-Alun Kulon. Di area tersebut menjadi bertemunya tiga tempat peribadatan yait Masjid Menara Kudus, Masjid Madureksan dan Kelenteng Hok Ling Bio. Dari kalangan sepuh dan sejarawan ataupun penyuka sejarah. Bahwa area taman ini dulunya adalah pasar bagi penduduk sekitar yang cukup ramai.