"Keriuhan dalam jalan sunyi, menemukan kerinduan di antara kesepian"
Menyusuri kesepian dari riuhnya peradaban kota. Yang membuat kita bisa terlena untuk sekedar bernostalgia di masa lalu. Pagi yang mendung di barat kota diantara pusara peradaban yang adiluhung, saya sejenak mengitari sisi Taman Menara. Aku terdiam duduk di tenggara pohon beringin tua. Saya sebut tua karena begitu besar dan rimbunnya pohon itu. Langit-langit mendung pun semakin hitam. Dari perjalanan ini saya akan sedikit bercerita mengenai Kelenteng Hok Ling Bio, Taman Menara dan Omah Toleh
12 Februari 2023 bersama dengan teman-teman Komunitas Cerita Kudus Tuwa akan napak tilas dan diskusi tentang Tionghwa di Kudus. Dari obrolan tsb aku baru tahu kalau daerah Taman Menara(saat ini sebut Alun-Alun Kulon) dulunya adalah pusat perniagaan. Sebuah pasar tempat bertemunya pedagang dari Tionghwa dan pribumi Jawa. Berbaurnya Tionghwa dan masyarakat Islam kala itu. Sehingga dimana ada sebuah keramaian pedagang dari Cina atau Tiongkok (Tionghwa) akan mendatanginya. Ibaratnya ada gula ada semut.
Dari literatur sejarah kedatangan orang Tionghwa adalah pelarian dari Batavia antara tahun 1741-1743 melalui jalur laut. Hal ini di picu karena kebijakan yang di lakukan VOC yang membuat kaum Tionghwa menyebar ke brbagai daerah untuk menyelamatkan diri. Mereka pergi melalui jalur laut menuju muara-muara sungai besar di Cirebon, Tegal, Semarang, Juwana, Rembang, Lasem hingga Tuban.
Dengan mendaratnya Tionghwa di Kudus, ditandai dengan mendirikan kelenteng-kelenteng sebagai tempat sembahyang bagi mereka. Di tulisan ini saya akan fokus di Kawasan Menara atau daerah kota tua di Kudus. Di kawasan Kudus Kulon juga terdapat kelenteng yang cukup tua. Di dirikan di kasaran abad XV, namun tahun tepatnya tidak di ketahui. Kelenteng tersebut adalah Kelenteng Hok Ling Bio.
Kelenteng Hok Ling Bio
Kembali dengan Kelenteng Hok Ling Bio, saat ini masih di bawah Yayasan agama Budha. Dari keberadaan bangunannya masih cukup baik, namun tidak menghilangkan sisi usia yang cukup tua dari kelenteng ini. Dalam kunjungan bersama teman-teman Cerita Kudus Tuwa, kita juga mendengarkan sedikit riwayat dan kelenteng dan lingkungan sekitar. Selain bangunan kelenteng, rumah di sekitarnya masih menyisakan bangunan dan arsitektur gaya Tionghwa. Daerah sekitar juga banyak terdapat Tionghwa peranakan hingga kini dan notabene pemilik toko.
Kelenteng Hok Ling Bio yang masuk Cagar Budaya Kabupaten Kudus merupakan kelenteng yang cukup menarik. Selain berdekatan dengan Menara Kudus, juga merupakan saksi bisu saat kerusuhan yang membuat luka sangat dalam. Keberadaan kelenteng di lingkungan masyarakat Jawa muslim dan sebagian keturunan Arab, merupakan simbol toleransi, asimilasi dan akulturasi yang indah. Dari penuturan Bapak Goei Tjwan Gie, kelenteng ini hamir 32 tahun tidak ada aktivitas. Baru semenjak Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur, kegiatan yang sifatnya simbolik mulai di jalankan.
Di bangunan awalnya arah pintu depan terdapat patung singa yang terbuat dari batu. Namun pasca kerusuhan Geger Pecinan 1918, yang sedikit banyak membuat perubahan pada kelenteng tsb. Saat ini sudah mengalami dua kali renovasi yaitu tahun 1889 dan 1976. Untuk bangunan aslinya yang tersisa, yaitu kusen dan pintu masuk, dua buah jendela (kanan dan kiri), empat buah pintu motif ukiran China, serta saka dari kayu jati. Di pintu masuk pertama, ada dua patung Singa dan dua patung Kilin, sementara di depan bangunan kelenteng, hidup pohon Dewa Daru yang sering diambil kayunya untuk kepentingan khusus.
Pada pilar-pilar kelenteng terdapat tulisan dekoratif (tuilian) bisa di sebut juga kaligrafi Cina. Berupa syair-syair dan doa-doa harapan untuk kebaikan, sesuai dengan dewa-dewa di kelenteng tsb. Salah satu pilar yang saya abadikan bisa di artikan "Berkah, keutamaan dan kehormatan tercurah ke segala penjuru, melindungi rakyat". Jadi kelenteng merupakan pusat untuk mencari keberkahan, menghormati Sang Pencipta dan melindungi masyarakat atau warga di sekitarnya. Dari sini betapa masyarakat saat itu saling menghormati, rukun dan bersinergi.
Dari hal itu sebenarnya kita bisa menelaah, betapa dulu suasana itu sudah terjalin dengan baik di kawasan ini. Karena dari struktur tata letaknya sudah berdampingan dengan baik. Dari kelenteng, pemilik toko Cina, masjid dan bangunan Arab menjadikan daerah ini sebuah area yang indah. Jika di tarik garis lurus dari Kelenteng Hok Ling Bio ke arah Masjid Madureksan(Padureksan) dan Masjid Menara Kudus adalah garis lurus.
Di sekeliling Taman Menara kita bisa melihat, Â Kelenteng, toko-toko (Tionghwa dan Jawa), pohon beringin dan masjid. Kita bisa merasakan sisi toleransi yang tercermin hingga kini masih terjaga (walaupun dulu sempat cidera "Geger Pecinan"). Namun karena saat ini sudah banyak bangunan, sehingga tidak kelihatan pandangan secara garis lurus tersebut.
Taman Menara
Taman Menara pada umunya orang Kudus menyebutnya, kendati saat ini di beri penyebutan baru sebagai Alun-Alun Kulon. Di area tersebut menjadi bertemunya tiga tempat peribadatan yait Masjid Menara Kudus, Masjid Madureksan dan Kelenteng Hok Ling Bio. Dari kalangan sepuh dan sejarawan ataupun penyuka sejarah. Bahwa area taman ini dulunya adalah pasar bagi penduduk sekitar yang cukup ramai.
Juga pusat perniagaan yang menjadi bertemunya pembeli dan pedagang di kala itu (seperti yang saya tuliskan sebelumnya). Sekitar area ini masih banyak bangunan tua yang secara turun temurun ataupun beralih ke orang lain sebagai tempat usaha maupun rumah tinggal. Berdasarkan tutur sejarah area tsb adalah pasar dan hingga keberadaannya berubah fungsi.
Setelah itu terdapat sebutan sebagai Pasar Bubrah. Saat ini selain sebagai taman juga sebagai area parkir para peziarah dan di sebut Alun-Alun Kulon Sedangkan untuk mengembalikan "keasliannya" tentu harus mendiskusikan berbagai pihak.
Rumah Toleh (Omah Toleh)
Di ceritakan oleh Bapak Fadloli dan Mas Nova Omah Toleh adalah sebuah bangunan yang cukup unik. Pemilik dari rumah ini sebagai pedagang dari kalangan Islam yang cukup sukses di kala itu. Bentuk bangunan era kolonial sangat terasa dengan pilar-pilar di bagian depannya. Sehingga setiap orang yang melewatinya akan menoleh ke arah bangunan tersebut, karena cukup megah di kala itu.Â
Rumah tersebut diperkirakan berdiri di awal tahun 1870-an. Mulai dari teras rumah sampai kedalam lantainya berupa marmer yang mewah. Setelah teras, ruangan pertama adalah ruang kantor di sisi kanan kiri, yang masih menggunakan kursi jaman dulu. Dari teras hingga ruang kantor terdapat jalan tengah lurus, yang kanan kirinya berupa ruang kamar. Dengan pintu dan jendela yang cukup besar.
Model bangunan dengan corak Praire House memang cukup menonjol, sebagai keberhasilan seorang pengusaha. Dalam ruangan terdapat keramik-keramik kuno, interior-interior antik. Terdapat beberapa hiasan dinding kuno yang menggambarkan setua bangunan ini, sebagai contoh lukisan dan kain batik yang cukup khas di Kudus sampai sekarang.
Ternyata kesunyian ini belum hilang, walaupun peradaban masa lalu sulit untuk di ungkapkan.
Terimakasih untuk Kerabat di Kelenteng Hok Ling Bio, Rumah Toleh, Bapak Goei Tjwan Gie, Bapak Fadloli, Kel. Haji Muhamad Abdoelah (Abu Bakar) Firdaus, Mas Imam Khanafi, Mas Rohmat Hidayatullah, Mas Nova David Ariyanto, Mas Yusak Maulana, Kopi Pojok dan teman-teman Cerita Kudus Tuwa.
"Cerita Kudus Tuwa"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI