"Pulsane Pak Lurah wis dikirim durung?"Â (Pulsa untuk Pak Lurah sudah dikirim atau belum?), tutur Bu B sambil membaca pesan Whatsappnya.
"Lha iki kok nomere Mas B yo melu ganti to?"Â (Ini kok nomornya Mas B ikut ganti sih?), Â katanya kemudian kepada seorang perempuan di sampingnya yang sedang membantu melayani pembeli.
"Biasane Mas B boso to ro sampeyan Mbak?" (Biasanya Mas B menggunakan bahasa halus kan sama Anda Mbak?)
"Iyo, tapi iki kok ora" (Iya, tapi ini tidak).
"Yo...rasah kirimi wae, ngapusi kui"Â (Ya...ndak usah dikirimi saja, penipu itu).
Obrolan itu terjadi beberapa hari yang lalu di sebuah toko kelontong di desa tetangga saya. Bu B merupakan seorang pemilik toko kelontong sekaligus agen sebuah bank nasional. Di toko itu, selain menyediakan kebutuhan sehari-hari juga melayani pembelian pulsa, token listrik, transfer bank, maupun tarik tunai. Keberadaannya cukup menolong warga berkaitan dengan jarak ATM terdekat sejauh 8 km.
Sore itu, ia mendapatkan pesan Whatsapp dari seseorang yang mengaku Pak D, Kepala Desa di desa itu. Ia meminta agar dikirimi pulsa sejumlah 150.000 di nomer tersebut. Nomor yang berbeda dari biasanya, namun dengan foto profil yang sama.
Tak berselang lama, suaminya mengirim pesan kepadanya menanyakan pulsa seperti obrolan di awal tadi. Namun, nomor suaminya juga berbeda, akan tetapi dengan foto profil yang sama.Â
Kebiasaan keduanya dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa halus menjadi kunci yang menyakinkannya bila itu bukanlah suaminya. Bu B pun memutuskan tidak mengiriminya pulsa.
Pada mulanya, saya mengira bahwa pelaku penipuan itu merupakan warga lokal. Sebab, ia seperti paham benar kondisi di desa itu. Ia tahu bahwa Bu B merupakan istri Pak B dan Pak D merupakan seorang Kepala Desa di desa itu.Â
"Bila penipu dari daerah lain yang jauh, misal Jogjakarta atau Jakarta, dari mana ia paham sedetail itu", pikir saya kemudian. Bahkan, bila masih dekat pun -misal tetangga desa- rasanya akan sulit mengetahuinya.Â
Di hari berikutnya, pendapat saya itu ternyata keliru, pasalnya kasus serupa juga terjadi di desa lain. Modusnya hampir serupa, menggunakan nama Kepala Desa. Dan bukan hanya nama saja, melainkan juga menggunakan foto profil kepala desa tersebut.
Melihat dua kasus itu, sepertinya menjadi modus baru dalam hal penipuan. Namun darimanakah para penipu itu mengumpulkan data yang sedemikian detil. Tanpa foto profil, barangkali dapat disimpulkan kebetulan. Namun dengan foto dan nama yang sama, saya pikir tidak lagi sekadar kebetulan.
Bila dipikir lebih jauh, data-data itu hari ini memang tidak susah untuk didapatkan. Toh setiap hari kita selalu membaginya melalui media sosial. Semua hal kita bagikan mulai dari foto, kegiatan, maupun profesi.
Pada mulanya memang bukan hal buruk, tidak menyalahi aturan, dan memang trend yang terjadi saat ini seperti itu. Akan tetapi, barangkali kita lupa atau tidak sadar, data-data itu dapat digunakan oleh orang lain untuk meneliti kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H