"Bila penipu dari daerah lain yang jauh, misal Jogjakarta atau Jakarta, dari mana ia paham sedetail itu", pikir saya kemudian. Bahkan, bila masih dekat pun -misal tetangga desa- rasanya akan sulit mengetahuinya.Â
Di hari berikutnya, pendapat saya itu ternyata keliru, pasalnya kasus serupa juga terjadi di desa lain. Modusnya hampir serupa, menggunakan nama Kepala Desa. Dan bukan hanya nama saja, melainkan juga menggunakan foto profil kepala desa tersebut.
Melihat dua kasus itu, sepertinya menjadi modus baru dalam hal penipuan. Namun darimanakah para penipu itu mengumpulkan data yang sedemikian detil. Tanpa foto profil, barangkali dapat disimpulkan kebetulan. Namun dengan foto dan nama yang sama, saya pikir tidak lagi sekadar kebetulan.
Bila dipikir lebih jauh, data-data itu hari ini memang tidak susah untuk didapatkan. Toh setiap hari kita selalu membaginya melalui media sosial. Semua hal kita bagikan mulai dari foto, kegiatan, maupun profesi.
Pada mulanya memang bukan hal buruk, tidak menyalahi aturan, dan memang trend yang terjadi saat ini seperti itu. Akan tetapi, barangkali kita lupa atau tidak sadar, data-data itu dapat digunakan oleh orang lain untuk meneliti kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H