Sikap tersebut ia lakukan tidak terkecuali dengan Ibunya yang telah berusia lanjut dan ia titipkan di Panti Jompo itu. Saat Ibunya meninggal dunia, ia tak meneteskan air mata sedikitpun. Bahkan ia enggan untuk melihat wajah manusia yang melahirkannya untuk yang terakhir kalinya. Parahnya, sehari setelah kematian Ibunya tersebut, ia malah berkencan dengan Marie dan menyaksikan film komedi di bioskop.
Sekilas jalan hidup Meursault memang konyol, jika dinilai oleh kita yang hidup di negara yang penuh dengan rasa sosial yang tinggi ini. Melihat manusia jenis ini, orang Jawa biasanya akan berkomentar, "ora ndolor" (tidak punya akal) atau "ora Jowo" (bukan orang Jawa). Barangkali bukan hanya orang Jawa saja yang akan menyebutnya sebagai manusia yang tidak punya akal, tidak punya moral sedikitpun.
Kendati demikian, hidup "ora ndolor" itulah solusi yang ditawarkan oleh Albert Camus untuk menghadapi hidup yang absurd itu. Katanya, agar manusia terbebas dari kehidupan yang absurd dan agar tidak terjerumus dalam tindakan konyol seperti bunuh diri, manusia harus memaknai hidup sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Imajinasi manusia harus sebebas mungkin sehingga mampu memberi makna hidup tanpa intervensi siapapun. Intervensi yang dimaksud tak terkecuali yang dilakukan oleh Tuhan. Menurut Camus, kegagalan manusia dalam memaknai hidup karena mereka bersandar pada sesuatu yang irasional seperti agama dan harapan-harapan lainnya. Oleh sebab itulah, untuk memaknai hidup manusia harus terbebaskan dari pengaruh-pengaruh itu.
Penolakan Tuhan pun dilakukan oleh Meursault disaat kematian telah di depan mata. Ia dijatuhi hukuman mati setelah membunuh seorang Arab dengan sadisnya. Pendeta yang berulang kali datang ke penjara ia tolak mentah-mentah. Katanya, berbicara mengenai Tuhan hanya akan menghabiskan waktunya yang tinggal sementara itu.
Bagi Meursault, hukuman tersebut bukanlah sebuah peristiwa yang ia risaukan. Kehidupannya di balik jeruji besi bukan sebuah siksaan melainkan kehidupan baru yang mesti ia jalani dengan suka cita. Pengadilan yang pada mulanya ia anggap tak adil karena bukannya mempersoalkan pembunuhan tersebut, namun perihal sikap cuek atas kematian Ibunya yang telah meninggal, ia terima dengan lapang dada.
Ia tak berusaha mengelak dari keputusan itu. Ia sadar, sejauh dan sebesar apapun usaha yang dilakukan akan berakhir sama, kematian. Katanya, sekarang atau besok kematian tetaplah kematian, sama, tak ada bedanya. Oleh karenanya, menjelang eksekusi ia pun malah berharap agar banyak orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman itu.
".....Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan-cercaan"
Sesuai dengan niatan Albert Camus untuk menggambarkan tentang absurditas dan solusinya, tak hanya karakter tokoh utamanya saja yang datar dalam novel ini. Alur ceritanya pun datar dan tak rumit untuk dipahami. Barangkali ia berharap agar pembaca mudah dalam mencernannya.
Bahasa yang digunakan pun cukup sederhana, tidak terlalu puitis. Menurut literasi yang saya baca, gaya penulisan Albert Camus ini cukup berbeda dengan gaya sastrawan pada masanya. Sepertinya ia memang sengaja untuk menunjukkan kesederhanaan, sesuai yang menjadi visinya untuk memberi solusi kehidupan yang absurd tersebut dengan hidup yang sederhana.
Bagi orang beragama dan berjiwa sosial, sikap Meursault yang nyeleneh ini tentu tak dapat diterima dengan mudah. Kendati demikian, manusia semacam Meursault ini kian hari semakin menjamur. Keputusasaan sepertinya menjadi sebab mereka acuh terhadap kehidupan diluar raga dan pikirannya.