Dalam mengarungi kehidupan, ada kalanya manusia menemui sesuatu hal yang tak diharapkan. Kejadian buruk bisa saja mampir tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Akibatnya, keputusasaan acap kali menjadi kawan setia kehidupan manusia.
Sebagai pelampiasan, hal-hal konyol seringkali dilakukan mulai dari sekadar menenggak minuman keras, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, sampai yang terparah menghilangkan nyawanya sendiri. Dengan kata lain, hidup dianggap sudah tidak ada artinya lagi.
Ihwal hidup yang tak pasti itu, sastrawan dan filsuf dari Perancis, Albert Camus mengatakan "hidup itu absurd". Ia menganggap bahwa kehidupan ini tidak bernilai dan tidak bermakna. Oleh karena pendapat itu, ia pun dikukuhkan sebagai pelopor cabang filsafat absurdisme.
Pemikirannya tersebut kemudian dituangkan dalam berbagai karya sastra yang mendunia. Pada tahun 1957, ia pun mendapat penghargaan nobel sastra dengan predikat penerima nobel termuda kedua. Tiga tahun kemudian, ia meninggal karena peristiwa kecelakaan mobil.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah Orang Asing (L'tranger). Karya ini mengejawantahkan solusi yang ditawarkan oleh Albert Camus untuk menghadapi kehidupan yang absurd itu melalui tokoh protagonisnya, Meursault.
Meursault merupakan seorang lelaki muda yang sedang bekerja di sebuah perusahaan perdagangan. Ia merupakan lelaki yang cukup miskin. Bahkan, saking miskinnya ia tak mampu merawat ibunya yang telah berusia lanjut, sehingga ia menitipkannya di panti jompo. Apartemen yang menjadi tempat tinggalnya pun kecil dengan barang-barang yang sederhana.
Kehidupannya serba monoton dengan hanya bekerja di kantor, tidur, makan, dan bercinta dengan Marie kekasihnya saat akhir pekan. Ia tak ambisius dalam berkarir, meski ada kesempatan untuk hidup lebih baik. Baginya, kehidupan yang ia dapatkan telah cukup, tak perlu lagi mengharapkan sesuatu yang lebih dari itu.
Perihal asmara, ia tak menganggap bahwa cinta merupakan hal yang penting. Demikian pula dengan menikah, ia menganggapnya sebagai hal yang tak perlu untuk dipikirkan. Oleh karenanya, ia pun ragu menjawab ajakan Marie untuk menikah.
"...dan bahwa kami dapat melakukannya jika dia menghendakinya. Lalu ia ingin tahu apakah aku mencintainya. Aku menjawab seperti yang pernah kulakukan dulu, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa, tetapi bahwa mungkin aku tidak mencintainya. "Lalu buat apa menikah dengan aku?" katanya. Kuterangkan padanya bahwa hal itu tidak penting, dan bahwa jika ia menginginkan, kami bisa menikah. Lagi pula, dialah yang meminta, dan aku cukup senang mengatakan ya..."
Jawaban yang disampaikan kepada Marie, hanya sekedar untuk membuatnya senang saja. Setali tiga uang dengan hubungan asmara, ihwal persahabatan pun ia tak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Singkatnya, hubungan dengan orang lain hanya sebatas alasan remeh temeh, jika ia mau, jika ia suka, dan jika ada manfaat yang ia dapatkan, apapun itu.