Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tahun Jawa sebagai Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

19 Juli 2023   06:20 Diperbarui: 19 Juli 2023   06:52 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kalender. Sumber: Pixabay

Tanggal 19 Juli 2023 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1445 H sekaligus 1 Suro Jimawal 1957. Saya menyebutkan Muharram dan Suro karena keduanya berbeda, Muharram adalah nama bulan dalam kalender Hijriah, sedangkan Suro adalah nama bulan dalam kalender Jawa dikenal juga dengan nama kalender Saka. 

Untuk menelisik perbedaan kedua kalender tersebut, marilah kita mengingat proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Menurut sejarah, agama Islam disebarkan oleh para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Pada mulanya Islam disebarkan di daerah pesisir, lantas baru masuk ke wilayah pedalaman. Masuknya agama Islam tersebut menyulut gejolak politik di nusantara. Kerajaan-kerajaan yang pada mulanya berlandaskan terhadap agama Budha dan Hindu perlahan tergantikan dengan kerajaan yang berlandaskan agama Islam.

Di Pulau Jawa, Kesultanan Demak dipercaya menjadi kerajaan Islam pertama yang lahir pada abad ke-15. Namun, kerajaan ini tak genap berusia satu abad karena terjadi peperangan saudara akibat perebutan kekuasaan. Runtuhnya Kesultanan Demak lantas memunculkan kerajaan Islam baru, Kerajaan Mataram Islam. Pada masa inilah kalender Jawa ini muncul dan bertahan hingga saat ini.

R. Tanaya dalam Kabudayan Paugeraning Taun Jawa yang dialih aksarakan oleh Yayasan Sastra Lestari (situs web) menuturkan mengenai kemunculan tahun Jawa ini. Di pulau Jawa, diperkirakan sejak abad 8 Masehi tahun Saka yang menjadi dasar tahun Jawa sudah digunakan oleh Kerajaan Jawa Hindu. Tahun Saka merupakan tahun Syamsiah (kalender yang berdasarkan peredaran matahari) yang dihitung pada waktu Nata Prabu Saliwagna berkuasa di tanah Hindu, di pulau Jawa dikenal sebagai Prabu Saka atau Sang Aji Saka. Penentuan tanggal 1 Saka bertepatan dengan tanggal 14 Maret 78 Masehi. 

Pada waktu Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma berkuasa di Kerajaan Mataram Islam, ia berniat untuk merubah sistem kalender Saka tersebut menjadi kalender Komariah (kalender yang berdasarkan peredaran bulan) seperti halnya kalender Hijriah. Tujuan perubahan itu agar dalam satu kalender mencakup seluruh kebudayaan yang ada yakni kebudayaan Jawa, Hindu dan Islam. Pada tahun 1555 Saka perhitungan sistem kalender yang baru pun dimulai. Sebagai hasil penggabungan sistem kalender tersebut, hingga saat ini tahun Jawa masih melanjutkan perhitungan tahun Saka (1957), perhitungan tanggal 1 tiap-tiap menurut perhitungan peredaran bulan, dan dengan jumlah bulan 12 seperti tahun Hijriah.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, meski dapat dikatakan mirip dengan tahun Hijriah, namun tahun Jawa memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan yang pertama yakni nama bulan dalam satu tahun. Nama bulan dalam kalender Hijriah yakni; Muharram, Shafar, Rabi'ul awal, Rabi'ul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaedah, dan Zulhijjah. Sedangkan dalam kalender Jawa nama bulannya adalah; Sura, Sapar, Mulud, Rabingulakir/Ba'da mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar.

Perbedaan yang kedua terletak pada hari yang digunakan. Konon, masyarakat Jawa zaman dahulu menggunakan sembilan jenis hari dalam satu waktu, namun saat ini hanya tersisa 2 jenis yakni pancawara dan saptawara. Pancawara merupakan hari yang berjumlah 5 yang dikenal dengan hari pasaran. Nama-nama hari tersebut adalah Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. sedangkan saptawara merupakan hari yang berjumlah 7 seperti hari yang dikenal secara nasional. Nama-nama hari saptawara adalah Ngahad, Senen, Salasa, Rebo, Kemis, Jumungah, dan Setu.

Nama hari yang kini dikenal oleh masyarakat Jawa pada dasarnya telah mengalami perubahan yang juga menyesuaikan dengan nama hari dari bangsa Arab (Islam). Nama hari saptawara yang dulu digunakan oleh masyarakat Jawa adalah Dite, Soma, Anggara, Buddha, Respati, Sukra, dan Saniscara atau Tumpak. Sedangkan nama hari pancawara dahulu memiliki sebutan yang berbeda, yakni Pethakan, Abritan, Jenean, Cemengan, dan Mancawarna.

Perbedaan yang selanjutnya adalah klasifikasi nama tahun dan windu. Klasifikasi yang pertama adalah nama tahun berdasarkan siklus satu windu (8 tahun). Setiap tahun dalam satu windu memiliki nama yang berbeda. Pemberian nama tahun tersebut berdasarkan huruf hijaiyah (aksara Arab) yang terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Klasifikasi yang kedua adalah perhitungan antar windu dimana dikenal ada 4 windu yang digunakan yakni Adi, Kunthara, Sengara, dan Sancaya.

Ngabei Wirapustaka dalam Serat Pawukon yang juga telah dialih aksarakan oleh Yayasan Sastra Lestari membeberkan bahwa windu dan tahun tersebut memiliki sifat yang berbeda-beda. Sifat yang dimaksud adalah sifat manusia atau alam sekitar. Windu Adi yang artinya linuwih (berlebih/kaya) bermakna akan ada banyak bangunan baru. Kemudian windu Kunthara yang artinya ulah (tingkah) berarti banyak manusia yang bertingkah dengan membeli barang-barang yang baru. Lantas windu Sengara yang artinya banjir dimaknai akan adanya air yang melimpah atau sungai-sungai besar. Terakhir windu Sancaya yang artinya pertemanan memiliki makna banyak manusia yang berteman baik.

Sifat/watak tahun dibedakan berdasarkan hari (pancawara dan saptawara) jatuhnya tanggal 1 Suro. Dalam hal ini, tahun tersebut akan memiliki nama berdasarkan hari dan nama binatang tertentu. Sedangkan yang dimaksud sifat adalah kondisi cuaca yang akan terjadi pada tahun tersebut. Dengan kata lain, nama-nama tahun tersebut dimaksudkan sebagai ramalan cuaca tahunan. Nama-nama tahun tersebut adalah : 

  1. Sukraminangkara (tahun udang), tanggal 1 Suro hari Jumat, prediksi cuaca sedikit hujan.

  2. Tumpak Menda (tahun kambing), tanggal 1 Suro hari Sabtu, prediksi cuaca sedikit hujan.

  3. Dite Kelaba (tahun kelabang), tanggal 1 Suro hari Minggu, prediksi cuaca sedikit hujan.

  4. Soma Wercita (tahun cacing), tanggal 1 Suro hari Senin, prediksi cuaca banyak hujan.

  5. Anggara Wrestija (tahun kodok), tanggal 1 Suro hari Selasa, prediksi cuaca banyak hujan.

  6. Budha Wiseba (tahun kerbau), tanggal 1 Suro hari Rabu, prediksi cuaca banyak hujan.

  7. Respati Mituna (tahun kepiting), tanggal 1 Suro hari Kamis, prediksi cuaca banyak hujan.

Dibandingkan dengan kalender Hijriah atau kalender Masehi, kalender Jawa memang memiliki sistem perhitungan yang lebih rumit. Apa yang telah saya uraikan diatas hanyalah sebagian kecil dari sistem tersebut kalender lokal tersebut. Namun demikian, kekayaan budaya dan pengetahuan itu kini sedang mengalami masa kepunahan. 

Anak-anak muda tidak lagi memiliki perhatian terhadap akar budaya leluhur. Padahal jika kita belajar dari proses kemunculan kalender Jawa ini kita dapat memahami bahwa masyarakat Jawa semenjak dahulu tidak menutup diri dari gempuran budaya asing. Akan tetapi mereka pun tidak menelan mentah-mentah menelan budaya tersebut, namun dengan tetap menyesuaikan dengan akar budaya leluhur.

Selamat merayakan tahun baru Hijriah dan tahun baru Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun