Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah, Kegiatan Mengisi Waktu Luang Berbiaya Mahal

23 Juni 2023   21:39 Diperbarui: 7 Juli 2023   16:02 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisuda (Sumber: shutterstock)

"Duit le utang iki, nggo jatah sangune Silvi" (Uang hasil mengutang ini, untuk jatah uang saku Silvi), jelas Lek Edi sambil memasukkan kembali uang tersebut ke dalam sakunya.

Siang itu terik matahari terasa membakar kulit. Saya sedang sibuk menyiangi rerumputan di sekitar tanaman kopi sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran. 

Pada saat itulah Lek Edi tiba-tiba datang dengan mengenakan kaus kuning lusuh, bercelana jeans yang tak kalah lusuh dan telah dipotong di bagian lutut. Topinya yang berwarna merah dan bergambar logo Tut Wuri Handayani itu agaknya itu topi Silvi anak pertamanya yang tak terpakai. Ia membawa sebilah sabit dan sepasang tali bas --tali dari pelepah kelapa muda-- untuk mencari rumput.

Menyadari kedatangannya, saya langsung berhenti menyiangi rumput untuk menyapanya. Kami pun duduk bersama beralaskan daun pisang kering. Ia lantas mengeluarkan slepen plastik lusuh berisi tembakau kuning, cengkeh ayem, dan kertas sigaret bufalo dari sakunya. Ia tawarkan lintingan itu. Ketika saya berniat untuk mengambilnya, beberapa uang ratusan ribu turut jatuh yang membuatnya tertawa sambil menjelaskan uang itu uang pinjaman untuk jatah uang saku anak pertamanya, Silvi.

Meminjam uang untuk biaya sekolah seperti yang dilakukan oleh Lek Edi ini merupakan cerita yang begitu sering saya dengar. Biasanya saya enggan untuk menanggapinya semakin jauh, entah mengapa mulut saya seringkali terkunci. Namun dalam hati saya selalu merenungkan hal itu. 

Dulu orang tua saya kemungkinan besar juga melakukan hal yang serupa. Bahkan tak menutup kemungkinan saya pun akan melakukan hal yang sama. 

Cerita-cerita semacam itu selalu diakhiri dengan kata-kata yang membuat trenyuh, "Bot-bote men anak nasibe luwih apik tinimbang aku" (Beban berat ini agar nasib anak lebih baik daripada saya).

Di kampung saya dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar warga masyarakatnya telah memprioritaskan pendidikan anak sebagai kebutuhan utama. Namun harap maklum, kemampuan ekonomi sebagian besar warga tersebut hanya mampu membiayai sampai ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat. Rata-rata lebih memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan harapan akan langsung mendapat pekerjaan setelah lulus nantinya. Jadi harap maklum, di kampung saya tak ada satupun sarjana.

Gambar : anak sekolah. Sumber : dokumentasi pribadi
Gambar : anak sekolah. Sumber : dokumentasi pribadi

Saya termasuk anak yang pertama menapaki jenjang SMK yang kemudian diikuti oleh anak-anak yang lebih muda. 

Dulu saya merasa begitu senang karena langkah yang sedikit menginspirasi itu. Beberapa orang tua ada yang meminta anaknya untuk saya antarkan mendaftar di tempat saya sekolah. 

Seiring berjalannya waktu, kegembiraan itu kian sirna dengan berbagai kenyataan yang terjadi. Rata-rata harapan bekerja setelah lulus tak menjadi kenyataan. Ada yang menganggur, ada pula yang mengikuti jejak orang tuanya menjadi kuli bangunan. Rasa sedih itu kian bertambah tatkala mendengar kisah-kisah semacam cerita Lek Edi itu.

Akhir-akhir ini, biaya sekolah agaknya memang kian meninggi. Namun penghasilan warga masyarakat tak banyak meningkat, stagnan, bahkan ada yang menurun. Meski demikian, Uang Sumbangan Pendidikan (SPP), biaya buku, dan biaya kegiatan mungkin masih terjangkau oleh warga meski harus membanting tulang. Namun agaknya bukan itu yang menjadi persoalan pokok dan menguras kantong mereka. 

Menurut cerita yang disampaikan oleh paman-paman saya atau orang yang saya temui, biaya uang saku dan kegiatan tambahan merupakan anggaran yang memberatkan mereka.

"Nek biaya SPP mono sesasi pisan, ning nek sangu kui kudu metu bendino" (Kalau biaya SPP hanya sekali sebulan, tetapi kalau uang saku harus setiap hari), tutur seorang paman saya, Lek Bani.

"Paling mumet neh nek pas ono kegiatan tambahan, ndadak trus lek kudu mbayar. Nek ra lek mbayar mengko anake ra entuk melu kegiatan, lak yo mesake to?" (Lebih memusingkan lagi jika ada kegiatan tambahan, mendadak dan harus segera membayar. Jika tidak segera membayar nanti anaknya tidak boleh ikut kegiatan, kasian kan?), Lek Bani menambahkan sambil menghela nafas panjang.

Penuturan Lek Bani itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kini kedua anaknya telah lulus dan telah bekerja meski dengan gaji seadanya. Oleh karena itu, kini saya dapat melihat senyum sumringahnya, meski sesekali ia masih bercerita soal sisa hutang yang belum terbayar. Mengenai pekerjaan anaknya, ia tak pernah mempersoalkan meski pekerjaan tersebut tak sesuai dengan jurusan waktu ia sekolah.

Perihal mahalnya ongkos uang saku sekolah itu saya sendiri juga merasakannya. Anak saya yang kini kelas 3 Sekolah Dasar (SD) itu, tiap hari uang sakunya Rp 10.000, dibandingkan dengan uang saku ketika saya seumurannya, bedanya begitu jauh.  

Dulu uang saku saya Rp 100 ketika hari-hari biasa. Karena di samping sekolah saya merupakan pasar pahing dan kliwon, maka pada hari pasaran uang saku saya bertambah menjadi Rp 200 plus tambahan saku dari nenek saya. Biaya buku atau kegiatan lain lagi. Yang ini hampir sama dengan yang diceritakan oleh Lek Bani.

Baru-baru ini di media sosial viral mengenai biaya wisuda sekolah yang tidak wajar. Selama saya sekolah dulu belum mengalami wisuda-wisudaan. Paling-paling perpisahan, jika harus iuran pun sewajarnya. 

Satu-satunya cerita wisuda tersebut saya ketahui ketika SD di desa saya beberapa waktu yang lalu mengadakan acara yang serupa. Acara tersebut saya ketahui dari kemenakan yang meminjam jas milik saya. Katanya untuk wisuda. Saya tak menghadirinya, namun sepertinya acara tersebut cukup meriah, dibuktikan dengan adanya pentas kesenian rakyat.

Jika berbicara perihal sekolah dengan segala tetek bengeknya itu, saya selalu teringat sebuah buku yang berjudul Sekolah Itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang. 

Menurut buku tersebut, sekolah pada awalnya hanyalah "kegiatan untuk mengisi waktu luang". Kata sekolah berasal dari bahasa latin yakni skhole, scola, scolae, schola, kata tersebut secara harfiah bermakna "waktu luang" atau "waktu senggang". Meski kemudian, seiring berjalannya waktu, kegiatan mengisi waktu senggang itu menjadi kewajiban hingga saat ini. Untuk belajar, untuk menimba ilmu. 

Mengenai mahalnya atau tidaknya biaya sekolah, menurut saya, kita pun dapat menilainya dengan objektif. Saat ini dunia sedang berada di era industri. Semua orang saya yakin dapat memahaminya, sebuah produk akan dihargai mahal jika berkualitas. 

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah "sudahkah pendidikan atau sekolah di negeri ini berkualitas dan pantas dihargai mahal?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun