Lahir di akhir dekade 80'an, saya mengalami masa kanak-kanak dengan suasana yang sangat berbeda dengan hari ini. Rumah, tempat bermain, kondisi desa, dan banyak hal lain yang mengalami perubahan begitu pesat.
Ketika mengingat masa-masa itu, perasaan saya menjadi aneh. Ada perasaan senang karena dapat turut menikmati zaman modern, ada pula rasa sedih karena masa kanak-kanak saya telah hilang untuk selama-lamanya.Â
Kini anak-anak saya tidak dapat menikmati suasana yang sama dengan yang saya alami dulu. Memang, kini ada banyak hal yang semakin mudah untuk mendapatkannya, namun tantangan untuk mengarungi kehidupan pun semakin sulit.Â
Di desa tempat saya tinggal, pembangunan jalan baru masuk pada tahun 1995. Pembangunan tersebut kemudian disusul dengan masuknya listrik. Oleh karena itu saya masih mengalami penerangan dengan dian sentir (pelita) dan dian petromaks (--maaf kurang paham bahasa Indonesianya--).Â
Kedua penerangan itu sama-sama menggunakan bahan bakar minyak tanah --di desa saya dinamakan lengo mambu (minyak bau)--. Dian sentir dibuat sendiri dengan botol bekas. Sedangkan dian petromaks merupakan produk pabrikan. Setiap rumah memilik dian sentir untuk penerangan di waktu malam hari.Â
Nyalanya kemerah-merahan, jika terkena angin yang masuk melalui dinding bambu maka akan bergoyang-goyang dan kadang kala mati. Berbeda dengan dian sentir, dian petromaks yang merupakan produk pabrikan dimiliki oleh orang-orang tertentu --0rang-orang kaya di desa--. Penggunaan dian petromaks pun hanya pada saat-saat tertentu, ketika hajatan atau acara-acara lainnya.
Pada masa kanak-kanak itu, ketika telah bersekolah, saya pun belajar menggunakan penerangan dian sentir. Mengenai obor belajar ini ada cerita yang menarik. Dulu, ketika ada orang meninggal kami para anak-anak sering mengikuti jenazah untuk mengambil uang receh yang dicampurkan kedalam ramuan tradisional (beras, kunyit, bunga, dan sebagainya) kemudian disebarkan dijalan. Menurut orang-orang tua kami, uang tersebut jika digunakan untuk membeli minyak tanah dan digunakan untuk belajar akan membuat semakin pandai.Â
Kedua alat penerangan di atas, biasanya jarang digunakan sebagai penerangan ketika berjalan di malam hari. Namun begitu bukan berarti keduanya memang tidak dapat digunakan.Â
Dian sentir pun dapat digunakan sebagai alat penerangan ketika berjalan pada malam hari, namun harus sedikit memodifikasinya. Cara memodifikasinya cukup mudah, yakni dengan menambahkan kaleng bekas di bagian atas untuk menjaga nyala api agar tidak tertiup angin.Â
Setelah modifikasi tersebut, namanya pun berubah menjadi dian klutuk (dinamakan dian klutuk karena biasanya digunakan oleh orang yang sedang berjudi dadu/judi klutuk).Â
Sedangkan dian petromaks memang tidak membutuhkan modifikasi, namun alat penerangan ini cukup berat, kurang praktis dan membutuhkan biaya yang lebih mahal. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kedua alat tersebut jarang digunakan. Masyarakat lebih memilih menggunakan perlengkapan yang lebih praktis, yakni oncor (obor dari bambu) dan blarak (daun kelapa kering).
Kini setelah listrik masuk desa perlengkapan tersebut jarang dimiliki oleh masyarakat. Selain karena memang jarang digunakan, sulitnya minyak tanah menjadi penyebab punahnya alat penerang masa lalu itu.Â
Ketika listrik padam, masyarakat pun lebih memilih menggunakan lilin atau lampu emergency. Oleh karena itu, anak-anak yang lahir pasca masuknya listrik tidak lagi mengenal perlengkapan tersebut. Namun di desa saya, sesekali anak-anak masih dikenalkan dengan perlengkapan tersebut setidaknya saat takbiran hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha.Â
Perubahan zaman terasa begitu cepat. Saya merasa masa kanak-kanak itu baru kemarin, namun nyatanya sudah berlalu hampir tiga dekade. Kemungkinan besar, dua dekade yang akan datang keadaan sudah berubah entah seperti apalagi.Â
Apa yang hari ini kita nikmati mungkin juga pada masa yang akan datang hanya tinggal kenangan, seperti halnya dian sentir yang saya jumpai ketika kanak-kanak. Ada kesedihan tersendiri ketika hal-hal tersebut telah menghilang, namun inilah kehidupan akan terus berjalan. Sebagai manusia kita memang tertuntut untuk selalu mengikutinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H