Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Cinta Menggoda di Waktu Senja v.1

8 Desember 2016   20:06 Diperbarui: 8 Desember 2016   20:20 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu pun terus berlalu. Sudah beberapa kali Reni dan Ika main ke taman bacaan Arif.

Suatu kali,

“Beberapa kali aku main ke sini, kok aku gak liat anak istrimu. Ke mana mereka, Rip?”

Arif terlihat diam.

“Yaah, … itulah yang membuat aku gak hadir di reuni kemarin.”

“Oh … iya, aku gak lihat kamu di reuni kemarin. Tapi, apa hubungannya anak istrimu dengan reuni? Mereka gak ngijinkan kamu datang?”

“Nggak juga. Aku gak datang karena malu, teman-teman akan menertawakan statusku.”

“Emangnya kenapa, Rip?”

Arif pun diam sejenak. Suaranya berubah agak lirih.

“Sampai setua ini aku belum nikah, Ren.”

“Haah …? Kamu belum nikah? Yang bener aja, Rip?!”

“Bener, Ren. Aku belum nikah.”

“Tapi, …. kenapa? Maaf, kamu masih normal ‘kan, Rip? Maksudku ….”

“Ya, masihlah, Ren. Aku masih tertarik dengan perempuan. Aku masih normal, kok.”

“Emangnya gak ada perempuan yang menarik hatimu, yah?”

“Yaa, … ada sih. Tapi, dia sudah pergi dengan pria lain.”

“Cari yang lain, dong! Emangnya perempuan cuman dia doang!”

“Sudah ku coba, tapi tetap aja aku gak bisa melupakan dia, Ren.”

“Woouww …. kamu yang luar biasa atau perempuan itu yang luar biasa.”

“Tentu saja perempuan itu yang luar biasa, makanya aku putuskan melajang sambil terus berdo’a semoga suatu saat nanti masih sempat bertemu dengan dia. Dan, sekarang do’aku mulai terkabul.”

“Tunggu … tunggu … kamu bilang do’amu mulai terkabul. Emangnya siapa dia?”

“Sekarang dia ada di hadapanku.”

Dilihatnya tidak ada orang lain di sekelilingnya, Reni pun mulai gugup.

“Mak … maksudmu perempuan itu a … aku? Bener, aku?”

“Bener, Ren. Perempuan yang luar biasa itu, kamu.”

Reni pun langsung terdiam.

“Gak lucu! Gombal!

“Bener, Ren. Aku serius. Dari dulu kamu ‘kan tahu kalau aku suka sama kamu.”

“Iya, aku tahu, tapi itu ‘kan dulu waktu SMA, masak udah setua ini gak berubah?”

“Emangnya perasaan itu harus berubah, yah?”

“Rip, ingat, Rip! Berapa usia kita? Aku udah punya cucu, Rip!”

“Emangnya kalo udah punya cucu, kenapa? Gak boleh?”

Reni pun langsung bangkit dari duduknya.

“Gak lucu!”

Dan mengajak Ika segera pulang.

Sampai di rumah, Reni pun langsung masuk ke kamarnya. Kunci pintu. Ratih, anaknya semata wayang, sampai keheranan melihatnya. Dia pun bertanya kepada Ika.

“Kenapa nenek, Dik?”

“Gak tau. Tapi, kayaknya tadi ribut-ribut sama pak Arip.”

“Ribut sama pak Arip?”

Karena penasaran, esok harinya Ratih pun mendatangi rumah Pak Arif untuk meminta penjelasan atas perubahan sikap ibunya. Arif pun bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan Reni, mulai dari kenalan waktu SMA, bagaimana dia mencoba untuk mendekati Reni dalam setiap kesempatan sampai akhirnya tidak pernah bertemu lagi begitu sama-sama lulus kuliah. Bedanya, begitu lulus kuliah Arif masih sering dengar kabar tentang Reni dari salah satu teman mereka. Sedangkan Reni tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Arif. Sampai akhirnya salah satu muridnya, Ika, mempertemukan mereka kembali.

“Begitulah, Tih. Dan Bapak turut prihatin dengan apa yang menimpa ibumu.”

“Maksud Bapak, prihatin gimana?”

“Ya, Bapak merasa kasihan dengan ibumu, karena ditinggal pergi Bapakmu.”

“Bapak tahu dari mana?”

“Dari salah satu teman kami, Umi namanya.”

“Terus, sekarang apa yang Bapak harapkan dari ibu?”

“Bapak berharap ibumu mau membuka hatinya dan menerima ajakan Bapak untuk menikah.”

“Bapak serius?”

“Ratih, Bapak dan ibumu udah sama-sama tua, Bapak menunggu ibumu dari SMA sampai setua ini, apa itu untuk main-main? Niat Bapak sangat serius ngajak ibumu nikah.”

“Tapi, pak, ibu udah gak datang bulan lagi. Bapak tau ‘kan maksud Ratih?”

“Ratih, buat Bapak masalah biologis udah gak penting lagi. Tapi, ini masalah rasa.”

Arif pun meletakkan tangan di dadanya, dan melanjutkan,

“Rasa tenang dan sayang. Perasaan jadi tenang jika ada orang tersayang ada di samping kita.”

“Baik, kalo gitu. Saya akan coba bantu bujuk ibu. Dan Ratih mohon maaf jika pertanyaan Ratih tadi menyinggung perasaan Bapak.”

“Gak pa-pa, Tih. Ma kasih atas bantuanmu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun