Mohon tunggu...
Mas Teddy
Mas Teddy Mohon Tunggu... Buruh - Be Who You Are

- semakin banyak kamu belajar akan semakin sadarlah betapa sedikitnya yang kamu ketahui. - melatih kesabaran dengan main game jigsaw puzzle. - admin blog https://umarkayam.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Disuruh Patuh, Orang Tua yang Melanggar

24 Juli 2016   19:54 Diperbarui: 8 Desember 2017   17:13 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Merdeka.com

Siapa yang tidak ingin punya anak yang patuh, baik patuh kepada perintah orang tua, agama maupun patuh kepada peraturan-peraturan yang ada. Untuk menghasilkan anak yang patuh, para orang tua akan dan selalu menjadi orang paling cerewet di dunia, terutama ibu. Di sekolah pun para guru juga sering menekankan kepada para siswa untuk selalu mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah. Peraturan dan tata tertib itu selalu diimbuhi dengan sanksi-sanksi yang bakal diterima jika melanggarnya.

Sayangnya di Indonesia ini ada pameo yang kontradiktif, “peraturan dibuat untuk dilanggar”. Tanpa kita sadari, kita sebagai orang tua sering melakukan itu. Konyolnya lagi kita melanggar peraturan itu sambil mengajak atau melibatkan anak-anak kita. Secara tidak langsung kita sudah mengajari anak-anak kita untuk melanggar peraturan dan itu diperbolehkan.

Anehnya lagi, jika sanksi dari pelanggaran peraturan tersebut menimpa orang lain, kita minta peraturan itu ditegakkan dengan tanpa pandang bulu. Tapi, jika sanksi pelanggaran itu menimpa kita atau orang dekat kita, kita sering minta pengampunan atau keringanan.

Disiplin atau Diselipin? (gbr dari soelar.mywapblog.com)
Disiplin atau Diselipin? (gbr dari soelar.mywapblog.com)
Pemandangan yang paling sering saya lihat adalah ketika jam berangkat sekolah dan kerja. Di perempatan-perempatan jalan, sering saya lihat beberapa motor dan mobil menerobos lampu merah. Mereka melakukan hal tersebut setelah melihat tidak ada kendaraan yang akan melintas, baik dari kanan, kiri atau dari arah berlawanan. 

Dengan alasan takut terlambat masuk sekolah, para orang tua yang sedang mengantarkan anaknya sekolah dengan penuh kesadaran, mengambil risiko menerobos lampu merah. Anak-anak yang sedang dibonceng atau di dalam mobil telah menjadi saksi pelanggaran lalu lintas yang diperagakan oleh orang tua mereka sendiri. Akhirnya akan muncul pemahaman bahwa melanggar lampu lalu lintas itu sah-sah saja, selama tidak ketahuan polisi. Ketaatan terhadap sebuah aturan hanya akan dikerjakan jika ada yang mengawasi bukan karena kesadaran diri sendiri.

Selanjutnya, jika mereka ditangkap oleh petugas kepolisian, mereka akan lebih memilih jalan ‘damai’ daripada menjalani proses sidang. Sekali lagi, kita sebagai orang tua telah menunjukkan perilaku tidak terpuji lainnya, ‘percobaan menyuap petugas’. Jangan dikira anak-anak yang kita bonceng atau kita antar tidak memperhatikan hal-hal tersebut. Mereka akan menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan orang tua mereka, meski itu dilarang, ternyata boleh dilakukan. Hal itu pula yang akan mereka lakukan jika suatu saat nanti mereka jadi orang tua.

Karena sudah melihat contohnya dari orang tua sendiri, maka jangan heran jika di rumah orang tua melarang suatu perbuatan, anak-anak terlihat penurut tetapi menjadi begitu liar ketika di luar.

“Ingat, jangan nerobos lampu lalu lintas, ya!” teriak sang bapak.

“Ya, pak!” jawab sang anak dengan mantap.

Tetapi, begitu di luar, bukan hanya lampu lalu lintas yang dilanggar. Pengguna jalan lain pun ikut jadi korban. Sang anak tentu tidak mau disalahkan atas perbuatannya. Kalau bapak bisa dan boleh melanggar lampu lalu lintas, kenapa saya tidak bisa dan tidak boleh?

Contoh selanjutnya menjadi ironi karena terjadi di dunia yang seharusnya mengajarkan serta menerapkan azas ketaatan dan kepatuhan, dunia pendidikan.

Anak pertama saya baru saja naik ke jenjang SLTA. Proses seleksi masuk SMA/SMK tahun ini masih sama dengan proses seleksi waktu masuk SMP, tiga tahun yang lalu. Ada jalur prestasi dan jalur reguler. Baik waktu masuk SMP maupun SMA anak saya selalu masuk melalui jalur reguler, dengan sistem online. 

Jalur reguler ini hanya mengandalkan Nilai Ujian Nasional (NUN), sebagai dasar seleksi penerimaan siswa baru. Sistem ini mengakibatkan siswa yang NUN-nya rendah akan terus tergusur oleh siswa yang NUN-nya tinggi. Sehingga siswa dengan NUN tinggi akan terkumpul di sekolah favorit, sedangkan yang NUN-nya rendah akan terkumpul di sekolah yang tidak favorit. 

Alhasil anak saya tidak lolos seleksi di sekolah yang dipilihnya. Dengan NUN yang rendah, setelah saya cek di laman penerimaan siswa baru, tinggal dua sekolah di daerah pinggir kota yang bisa menerimanya. Awalnya anak saya sempat mogok karena tidak diterima di sekolah pilihannya. Tetapi setelah saya bujuk dan kasih pengertian, akhirnya dia pun mau sekolah di sekolah yang mau menampungnya, meski bukan di sekolah favorit.

Saya tidak mempermasalahkan sistem penerimaan siswa baru ini, karena saya dan anak saya mengikuti sesuai aturan mainnya. Setelah tahu anak saya diterima di sekolah yang ‘tidak biasa’ bagi penghuni komplek, tetangga saya yang heran.

“Kenapa sekolah di sana? Kenapa nggak ikut BL aja, Pak?”

“Ah, biar aja. Anaknya mau kok, sekolah di sana.”

Sekedar info. Di kota tempat saya tinggal ada istilah Bina Lingkungan (BL). BL ini istilah untuk penerimaan siswa baru lewat ‘jalur belakang’. BL ini dikenal luas oleh para orang tua yang biasa memaksakan anaknya diterima di sekolah favorit, dengan membayar sejumlah uang. Entah dengan nama ‘sumbangan pembangunan pagar, musholla’, atau untuk yang lainnya. BL ini juga jadi jalur para pejabat pemda untuk menitipkan anak-anaknya.

Begitulah, dengan tanpa kita sadari, kita telah mengajari sekaligus melibatkan anak-anak kita dengan pelanggaran terhadap sebuah aturan main. Kita telah mengajari anak kita untuk menolak hasil yang tidak sesuai dengan harapan kita, meski sudah mengikuti aturan main yang benar. Sering kali kita mengajari anak kita bagaimana cara menggapai kesuksesan, tapi lupa mengajari cara menghadapi kegagalan. 

Sering kali kita mengajari anak kita untuk mendapatkan nikmat, tapi lupa mempersiapkan diri jika kehilangan nikmat. Memang tidak ada sanksi untuk pelangaran seperti ini, sehingga banyak orang tua yang mampu secara ekonomi jadi ikut melakukannya. Demi masa depan anak adalah alasan yang dipakai untuk pembenaran praktek seperti ini.

Ada anak tetangga yang juga teman anak saya waktu SD. Jika dilihat nilai NUN-nya, baik saat SD maupun SMP, masih lebih bagus NUN anak saya. Tapi, dia selalu masuk ke sekolah favorit melalui jalur BL, baik waktu masuk SMP maupun masuk SMA. Saya tidak iri atau mempermasalahkan bagaimana dia masuk sekolah favorit lewat jalur BL. Saya hanya ingin tahu kelak setelah besar akan jadi seperti apa teman anak saya itu.

Contoh lain lebih memprihatinkan. Sebagai orang tua, kita sering memarahi anak karena mencuri buah milik tetangga. Bahkan saking geramnya, terkadang kita sampai menjewer telinga, memukuli pantat atau berbagai tindakan kekerasan lainnya, dengan maksud supaya sang anak jadi jera. Supaya tidak mengulangi perbuatannya karena telah membuat malu kita sebagai orang tua. Padahal di saat yang sama, sang bapak tengah berkonspirasi melakukan tindakan korupsi. Meski korupsi kecil-kecilan serta belum ketahuan.

Hayoo ... kapokmu kapan! (gbr dari antosalafy.wordpress.com)
Hayoo ... kapokmu kapan! (gbr dari antosalafy.wordpress.com)
Jika sang bapak terbukti secara hukum telah melakukan tindak pidana, sampai akhirnya masuk penjara. Kemungkinan sang anak akan meradang. Menuduh bapak sebagai orang yang tidak konsisten, plin-plan, munafik, dan lain sebagainya. 

Kemungkinan yang lain adalah sang anak akan memaafkan tindakan bapaknya karena semua itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Jika itu yang terjadi, bisa jadi ketika sang anak sudah berkeluarga nantinya juga akan mengikuti jejak bapaknya serta berharap anaknya juga akan memaafkan tindakannya.

Seandainya tindakan sang bapak tidak sampai tercium aparat penegak hukum, tetapi sang anak tahu jika bapaknya melakukan korupsi, kemungkinan besar jika sang anak sudah berkeluarga juga akan mengikuti jejak bapaknya. Bahkan bisa mengambil pelajaran dari ‘jurus-jurus’ sang bapak sambil menyiapkan ‘jurus-jurus’ pertahanan dan perlindungan diri yang lebih ampuh.

“Bapak saya bisa, kenapa saya nggak bisa?”

Mau contoh lain? Banyak.

  • Bapak melarang anaknya pacaran, tapi di saat yang sama bapak punya pacar gelap alias selingkuhan.
  • Bapak melarang anaknya merokok, tapi punya stock rokok sampai satu kotak.
  • Ibu menyuruh anaknya segera sholat begitu adzan berkumandang, tapi sang ibu sendiri tengah asyik nonton sinteron.

Dan masih banyak lagi, silakan pembaca tambahkan sendiri daftarnya.

Sebagai orang tua, kita tidak bisa seenak sendiri menetapkan peraturan atau mau menang sendiri. Bapak saya dulu sering menyebutnya dengan 'orang tua tipe ember', untuk orang tua yang mau menang sendiri. Apa itu 'orang tua tipe ember'?

Jika orang tua yang tanpa sengaja kakinya menyenggol atau nendang ember, dia akan teriak,

"Siapa yang naruh ember sembarangan di sini?!"

Jika ada anaknya yang juga tanpa sengaja kakinya menyenggol atau nendang ember, dia akan teriak,

"Kalau jalan itu lihat-lihat! Ember gak salah ditendang-tendang!"

Tulisan ini bukan bermaksud menggurui pembaca, tapi juga sekaligus sebagai cermin diri supaya terhindar dari perilaku yang kurang terpuji seperti contoh di atas.

‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’.

‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.

Karena itu berilah contoh dan teladan yang baik kepada anak-anak kita, supaya martabat kita sebagai orang tua tetap terjaga.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun