Alhasil anak saya tidak lolos seleksi di sekolah yang dipilihnya. Dengan NUN yang rendah, setelah saya cek di laman penerimaan siswa baru, tinggal dua sekolah di daerah pinggir kota yang bisa menerimanya. Awalnya anak saya sempat mogok karena tidak diterima di sekolah pilihannya. Tetapi setelah saya bujuk dan kasih pengertian, akhirnya dia pun mau sekolah di sekolah yang mau menampungnya, meski bukan di sekolah favorit.
Saya tidak mempermasalahkan sistem penerimaan siswa baru ini, karena saya dan anak saya mengikuti sesuai aturan mainnya. Setelah tahu anak saya diterima di sekolah yang ‘tidak biasa’ bagi penghuni komplek, tetangga saya yang heran.
“Kenapa sekolah di sana? Kenapa nggak ikut BL aja, Pak?”
“Ah, biar aja. Anaknya mau kok, sekolah di sana.”
Sekedar info. Di kota tempat saya tinggal ada istilah Bina Lingkungan (BL). BL ini istilah untuk penerimaan siswa baru lewat ‘jalur belakang’. BL ini dikenal luas oleh para orang tua yang biasa memaksakan anaknya diterima di sekolah favorit, dengan membayar sejumlah uang. Entah dengan nama ‘sumbangan pembangunan pagar, musholla’, atau untuk yang lainnya. BL ini juga jadi jalur para pejabat pemda untuk menitipkan anak-anaknya.
Begitulah, dengan tanpa kita sadari, kita telah mengajari sekaligus melibatkan anak-anak kita dengan pelanggaran terhadap sebuah aturan main. Kita telah mengajari anak kita untuk menolak hasil yang tidak sesuai dengan harapan kita, meski sudah mengikuti aturan main yang benar. Sering kali kita mengajari anak kita bagaimana cara menggapai kesuksesan, tapi lupa mengajari cara menghadapi kegagalan.
Sering kali kita mengajari anak kita untuk mendapatkan nikmat, tapi lupa mempersiapkan diri jika kehilangan nikmat. Memang tidak ada sanksi untuk pelangaran seperti ini, sehingga banyak orang tua yang mampu secara ekonomi jadi ikut melakukannya. Demi masa depan anak adalah alasan yang dipakai untuk pembenaran praktek seperti ini.
Ada anak tetangga yang juga teman anak saya waktu SD. Jika dilihat nilai NUN-nya, baik saat SD maupun SMP, masih lebih bagus NUN anak saya. Tapi, dia selalu masuk ke sekolah favorit melalui jalur BL, baik waktu masuk SMP maupun masuk SMA. Saya tidak iri atau mempermasalahkan bagaimana dia masuk sekolah favorit lewat jalur BL. Saya hanya ingin tahu kelak setelah besar akan jadi seperti apa teman anak saya itu.
Contoh lain lebih memprihatinkan. Sebagai orang tua, kita sering memarahi anak karena mencuri buah milik tetangga. Bahkan saking geramnya, terkadang kita sampai menjewer telinga, memukuli pantat atau berbagai tindakan kekerasan lainnya, dengan maksud supaya sang anak jadi jera. Supaya tidak mengulangi perbuatannya karena telah membuat malu kita sebagai orang tua. Padahal di saat yang sama, sang bapak tengah berkonspirasi melakukan tindakan korupsi. Meski korupsi kecil-kecilan serta belum ketahuan.
Kemungkinan yang lain adalah sang anak akan memaafkan tindakan bapaknya karena semua itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Jika itu yang terjadi, bisa jadi ketika sang anak sudah berkeluarga nantinya juga akan mengikuti jejak bapaknya serta berharap anaknya juga akan memaafkan tindakannya.
Seandainya tindakan sang bapak tidak sampai tercium aparat penegak hukum, tetapi sang anak tahu jika bapaknya melakukan korupsi, kemungkinan besar jika sang anak sudah berkeluarga juga akan mengikuti jejak bapaknya. Bahkan bisa mengambil pelajaran dari ‘jurus-jurus’ sang bapak sambil menyiapkan ‘jurus-jurus’ pertahanan dan perlindungan diri yang lebih ampuh.
“Bapak saya bisa, kenapa saya nggak bisa?”
Mau contoh lain? Banyak.
- Bapak melarang anaknya pacaran, tapi di saat yang sama bapak punya pacar gelap alias selingkuhan.
- Bapak melarang anaknya merokok, tapi punya stock rokok sampai satu kotak.
- Ibu menyuruh anaknya segera sholat begitu adzan berkumandang, tapi sang ibu sendiri tengah asyik nonton sinteron.