Mohon tunggu...
Tedd Shadynnov
Tedd Shadynnov Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menyukai Menulis Sejak Masih SMP Dan Lebih Banyak Tulisan Non Fiksi. Tapi Sekarang Mulai Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga yang Tak Mungkin Mekar

17 Agustus 2024   15:36 Diperbarui: 17 Agustus 2024   22:23 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat dengan bantuan AI

Ayu menatap kosong ke luar jendela, memandangi hujan yang turun rintik-rintik. Suara tawa bayi dari kamar sebelah membuatnya tersenyum getir. Dia bisa membayangkan pemandangan di balik pintu itu - Dewi, kakaknya, sedang berbaring di tempat tidur, sementara Didy menggendong bayi mereka yang baru berusia dua bulan.

Didy. Nama itu selalu membuat jantung Ayu berdebar tak karuan.

Dengan tangan gemetar, Ayu membuka buku hariannya. Halaman-halamannya sudah penuh dengan curahan hatinya selama setahun terakhir. Dia mulai menulis:

"Hari ke-372 mencintaimu dalam diam, Mas Didy. Aku melihatmu menggendong bayimu hari ini. Kamu tersenyum begitu lembut, matamu berbinar penuh kasih. Andai saja tatapan itu untukku..."

Ayu menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir lolos. Dia ingat pertama kali jatuh hati pada Didy. Saat itu, Dewi baru saja melahirkan dan harus bedrest. Didy dengan setia merawat Dewi, bahkan rela cuti dari pekerjaannya.

"Kamu beruntung banget punya suami kayak Mas Didy," Ayu ingat pernah berkata pada Kakanya, Dewi.

Dewi tersenyum lemah. "Iya, Yu. Aku bersyukur banget. Eh, tolong ambilin minum dong."

Saat itulah Didy masuk ke kamar, membawa segelas air. "Udah aku bawain, sayang. Ayu, makasih ya udah jagain Mbak ya."

Senyum Didy saat itu membuat dunia Ayu seakan berhenti berputar. Sejak saat itu, dia mulai memperhatikan Didy lebih seksama. Kebaikan hatinya, kesabarannya, bahkan caranya tertawa - semua itu membuat Ayu jatuh cinta sedikit demi sedikit.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Ayu. "Yu, bisa tolong jagain Nayla sebentar? Aku mau mandi dulu," suara Didy terdengar dari balik pintu.

Ayu menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. "I-iya, Mas. Sebentar."

Dia menutup buku hariannya dan bergegas ke kamar Dewi. Di sana, Didy sedang menidurkan Nayla di box bayi.

"Makasih ya, Yu. Kamu baik banget mau bantuin terus," ujar Didy sambil tersenyum hangat.

Ayu hanya bisa mengangguk, takut suaranya akan bergetar jika dia bicara. Dia melirik Didy keluar kamar, matanya tak bisa lepas dari punggung pria itu.

"Yu, kamu nggak apa-apa?" tanya Dewi tiba-tiba. "Kok mukamu pucet gitu?"

Ayu tersentak. "Ah, nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma agak capek aja."

Dewi tersenyum lembut. "Makasih ya udah bantuin Mbak sama Mas Didy. Kamu adik terbaik yang aku punya."

Kata-kata Dewi terasa seperti belati yang menusuk hati Ayu. Rasa bersalah menyelimutinya. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada suami kakaknya sendiri?

Malam itu, setelah semua orang tertidur, Ayu kembali menulis di buku hariannya:

"Aku ingin pergi jauh, Didy. Pergi dari perasaan ini, dari rasa bersalah yang menghantuiku setiap hari. Tapi aku tidak bisa. Aku harus di sini, menjaga Dewi, menjaga Nayla. Menjaga hatiku agar tidak hancur setiap kali melihatmu bahagia dengan mereka."

Air mata Ayu jatuh, membasahi halaman buku. Dia memeluk buku itu erat-erat, seolah dengan begitu dia bisa menghilangkan rasa sakit di dadanya.

Esok harinya, Ayu terbangun dengan mata sembab. Dia mendengar suara tawa dari dapur. Dengan langkah gontai, dia menuruni tangga.

Di dapur, pemandangan yang dia lihat membuat hatinya serasa diremas. Didy sedang memeluk Dewi dari belakang, mencium lembut pipinya sambil Dewi menyiapkan sarapan. Mereka terlihat begitu bahagia, begitu sempurna.

"Pagi, Yu!" sapa Didy ceria. "Ayo sarapan bareng."

Ayu memaksakan senyum. "Pagi, Mas. Mbak. Aku... aku mau lari pagi dulu ya."

Tanpa menunggu jawaban, Ayu bergegas keluar rumah. Dia berlari, berlari sekencang-kencangnya, berharap bisa meninggalkan perasaannya di belakang. Tapi sia-sia. Cintanya pada Didy tetap ada, mengakar kuat di hatinya.

Ayu berhenti di sebuah taman, nafasnya terengah-engah. Dia menatap langit pagi yang cerah, kontras dengan kegelapan di hatinya.

"Sampai kapan, Tuhan?" bisiknya lirih. "Sampai kapan aku harus menanggung perasaan ini sendirian?"

Tapi Ayu tahu, tak akan ada jawaban. Dia harus terus menjalani hidupnya seperti ini - mencintai dalam diam, tersiksa dalam keheningan. Karena baginya, kebahagiaan Dewi dan Didy lebih penting dari perasaannya sendiri. Ia mengerti sangat kalau perasaan cintanya ibarat bunga yang tak akan pernah mekar selamanya tapi juga tak mati.

Dengan berat hati, Ayu berjalan pulang. Kembali ke rumah di mana dia harus mengubur cintanya dalam-dalam, hari demi hari, sampai entah kapan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun