Esok harinya, Ayu terbangun dengan mata sembab. Dia mendengar suara tawa dari dapur. Dengan langkah gontai, dia menuruni tangga.
Di dapur, pemandangan yang dia lihat membuat hatinya serasa diremas. Didy sedang memeluk Dewi dari belakang, mencium lembut pipinya sambil Dewi menyiapkan sarapan. Mereka terlihat begitu bahagia, begitu sempurna.
"Pagi, Yu!" sapa Didy ceria. "Ayo sarapan bareng."
Ayu memaksakan senyum. "Pagi, Mas. Mbak. Aku... aku mau lari pagi dulu ya."
Tanpa menunggu jawaban, Ayu bergegas keluar rumah. Dia berlari, berlari sekencang-kencangnya, berharap bisa meninggalkan perasaannya di belakang. Tapi sia-sia. Cintanya pada Didy tetap ada, mengakar kuat di hatinya.
Ayu berhenti di sebuah taman, nafasnya terengah-engah. Dia menatap langit pagi yang cerah, kontras dengan kegelapan di hatinya.
"Sampai kapan, Tuhan?" bisiknya lirih. "Sampai kapan aku harus menanggung perasaan ini sendirian?"
Tapi Ayu tahu, tak akan ada jawaban. Dia harus terus menjalani hidupnya seperti ini - mencintai dalam diam, tersiksa dalam keheningan. Karena baginya, kebahagiaan Dewi dan Didy lebih penting dari perasaannya sendiri. Ia mengerti sangat kalau perasaan cintanya ibarat bunga yang tak akan pernah mekar selamanya tapi juga tak mati.
Dengan berat hati, Ayu berjalan pulang. Kembali ke rumah di mana dia harus mengubur cintanya dalam-dalam, hari demi hari, sampai entah kapan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H