Ayu menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. "I-iya, Mas. Sebentar."
Dia menutup buku hariannya dan bergegas ke kamar Dewi. Di sana, Didy sedang menidurkan Nayla di box bayi.
"Makasih ya, Yu. Kamu baik banget mau bantuin terus," ujar Didy sambil tersenyum hangat.
Ayu hanya bisa mengangguk, takut suaranya akan bergetar jika dia bicara. Dia melirik Didy keluar kamar, matanya tak bisa lepas dari punggung pria itu.
"Yu, kamu nggak apa-apa?" tanya Dewi tiba-tiba. "Kok mukamu pucet gitu?"
Ayu tersentak. "Ah, nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma agak capek aja."
Dewi tersenyum lembut. "Makasih ya udah bantuin Mbak sama Mas Didy. Kamu adik terbaik yang aku punya."
Kata-kata Dewi terasa seperti belati yang menusuk hati Ayu. Rasa bersalah menyelimutinya. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada suami kakaknya sendiri?
Malam itu, setelah semua orang tertidur, Ayu kembali menulis di buku hariannya:
"Aku ingin pergi jauh, Didy. Pergi dari perasaan ini, dari rasa bersalah yang menghantuiku setiap hari. Tapi aku tidak bisa. Aku harus di sini, menjaga Dewi, menjaga Nayla. Menjaga hatiku agar tidak hancur setiap kali melihatmu bahagia dengan mereka."
Air mata Ayu jatuh, membasahi halaman buku. Dia memeluk buku itu erat-erat, seolah dengan begitu dia bisa menghilangkan rasa sakit di dadanya.