Mohon tunggu...
suta
suta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisis Zakaat versi Al Quran

20 Februari 2018   10:33 Diperbarui: 20 Februari 2018   10:36 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hukum Allah adalah absolut dan tidak boleh dijadikan relatif. Istilah masjid, zakaat, shadaqaat, infaq, haji, 'umrata/umrah, dan istilah lainnya di dalam Al Quran adalah istilah produk hukum hak cipta milik Allah. Bilamana manusia mengambil istilah produk hukum cipta hak milik Allah maka kesulitan selalu bertumpuk akibat perlawanan hukum itu sendiri, seperti contoh adanya UU zakaat bersifat parsial oleh negara yang mana UU itu sudah melanggar UUD karena parsial warganegara. Suatu undang-undang yang benar, inputan sistem proses harus bersifat umum artinya berlaku untuk semua warganegara, tetapi outputannya boleh khusus artinya ada kerelaan sebagian warganegara. Inputan dan outputan bersifat khusus dari sistem artinya diskriminasi.

Allah adalah penyelenggara produk hukumNya, manusia adalah pelaksana produk hukum Allah, dan Allah telah menyediakan masjid wadah proses hukumNya. Sebagai contoh hukum prosesi nikah adalah harus menghubungkan lebih dahulu hukum zakaat dan hasil akhir bisa melalui hukum shadaqaat tergantung sah/tak sah para saksi Allah. Hukum Allah menghendaki seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Karena salah persepsi dan penerapan hukum maka seseorang, tak peduli status sosialnya, punya istri satu saja banyak masalah apalagi lebih sehingga Allah sendiri yang menghalangi agar tidak menambah kesalahan. Akibat proses hukumNya, manusia mengalami perubahan status cipta dan atribut yang disandangnya. Ini berdampak pada perubahan status warganegara atau anggota kelembagaan lainnya bentukan manusia.

Penulis tunduk 'wa aqaamushshallata' di dalamnya ada pernyataan syahadat. Di Al Quran ada 'masjidil baiti (masjid adalah rumahku, Allah) dan massajidallahi (istilah masjid-masjid adalah Allah yang punya)'. Menguji hukum itu kepada orang yang se-agama ternyata berbeda pandangan soal pernyataan sikap saja belum penerapannya yaitu 'masjid itu milik Allah'. Balasan sikap adalah masjid milik masyarakat atau organisasi atau lembaga atau negara. Cobalah ikut membuktikan. Ini menunjukkan bukti hukum QS 9:107 dengan mudah banyak ditemukan masjid palsu. Seruan adzan dan ceramah untuk mengerjakan shalat dan menyemarakkan masjid (palsu) diabaikan karena Allah sendiri yang menghalangi. Manusia tidak sadar akan hukum masjid bahkan seorang kampium ahli hukum pun bahwa di dalamnya harus terselenggara produk hukum Al Quran.

Harapannya banyak yang percaya pada tulisan ini dan semoga kembali sadar akan kekeliruan dan mengerti maksud pernyataan syahadat di hadapan Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun