Telah terjadi polemik akibat pernyataan dari tokoh agama tentang penerapan zakaat pada aparatur negara dan mengarah menjadikan wacana. Undang-Undang tentang zakaat akhirnya sulit diimplementasikan. Mengapa sulit. Hasil pengkajian Al Quran ini dengan metode analisis tidak dengan tafsir, bagi umat islam semoga, menjadikan masukan yang sangat berarti dan muncul kesadaran.
Persepsi/Cara Pandang Mengenai Al Quran
Manusia harus mempercayai (iman) bahwa semua Wahyu Allah adalah produk hukum hak cipta milik Allah. Pangkal kebingungan persepsi manusia adalah bahwa Wahyu Allah diturunkan kepada manusia dalam rangka pengaturan hubungan semata-mata antara manusia (lebih spesifik perjanjian ruh) dengan Allah sebagai Tuhannya, tidak untuk (ruh) manusia dengan sesama ciptaan Allah (utamanya manusia). Perjanjian Allah untuk ruh manusia adalah berupa hukum perlakuan untuk Allah sang pencipta dan apa yang menjadi ciptaanNya mulai dari jazad dirinya bersemayam ruh sampai diluar dirinya. Hukum mengabdi pada Allah (jangan mensejajarkan diri dengan Allah seperti menilai Allah dan apa yang jadi ciptaanNya artinya usahakan dengan menyertakan nama Allah atau banyak mengingat Allah) dan hukum perlakuan tidak menganiaya terhadap ciptaan Allah (tahu diri atas status pemilik, perlakuan barang yang bukan milik dan keadaan dalam penguasaan dirinya) dicontohkan oleh perbuatan Nabi Shaalih (amilush-shaaliha-ati). Pokok hukum dari Allah kepada manusia adalah beriman (hukum terhadap ciptaan), ber-amil shaalihaat (perlakuan terhadap ciptaan), menegakkan shalaat (pelaporan terhadap ciptaan), dan menunaikan zakaat (serahan perubahan status terhadap ciptaan). 'ahmadsutarnostslo.blogspot.com' memberikan bacaan banyak pandangan. Prinsip itu adalah hal lazim ditiru pada UU negara mengatur  hubungan negara dengan warganegara, demikian juga AD/ART lembaga/perusahaan mengatur hubungannya dengan klien atau kolega.
Semua isi pesan Wahyu Allah secara tatabahasa sebagai subyek, predikat (proses), obyek, dan keterangan adalah mengacu pada hak cipta milik Allah. Namun setiap Wahyu Allah yang diturunkan kepada manusia ada yang disimpangkan oleh manusia apakah pesan hukum Allah dengan sistem yang dibangunkan atau hanya sistemnya saja sehingga keduanya berakibat sistem mengalami kegagalan. Bukti nyata bahwa Al Quran sebagai produk hukum absolut benar adalah bahwa cara ditafsir sebagai usaha yang salah, bukannya dianalisis yang memerlukan usaha penalaran, pra-kondisi, pembuktian/pengujian. Hukum absolut bila dianalisis oleh seribu orang akan menghasilkan satu jawaban, namun bila ditafsir akan ada seribu jawaban. Dampak penafsiran Wahyu Allah adalah tendensi sistem pengaturan hubungan sesama manusia. Ini berakibat pada sistem seharusnya dibangun dengan pengkaburan sistem hubungan antara manusia dengan tuhannya. Usaha menambah atau mengurangi produk hukum Allah adalah bentuk tak sadar perwujudan anggapan Wahyu Allah tidak sempurna dan merupakan perbuatan syirik.
Telisik Pesan Al Quran
Rangkaian huruf, rangkaian kata, pada pesan Al Quran dengan bahasa Arab memerlukan kejelian dan kepekaan telisik. Jajaran huruf konsonan yang tetap adalah pembentuk arti kata. Jajaran huruf konsonan dan vokal yang tetap adalah merujuk 'sesuatu'. Variasi huruf vokal dan penambahan huruf konsonan pada jajaran konsonan tetap memberikan pengertian dan maksud yang berbeda dari setiap arti kata itu sehingga pemahaman kata menjadi berbeda namun arti dasar kata sama.
Pesan perintah pada kata predikat di dalam Al Quran di dalam pelaksanaannya hanyalah ditujukan kepada pemilik pesan yaitu Allah. Kata obyek di dalam pesan itu adalah kepemilikannya diserahkan kepada Allah bilamana tak diungkapkan secara eksplisit yang dituju. Contoh pesan QS 2:277 "innalladziina aamanuu wa 'amilushshaalihaati wa aqaamushshallaata wa aatawuzzakaata lahum ajruhum 'inda rabbihim wa laa khaufun 'alaihim wa laa hum yahzanuuna". Dengan analisis singkat pesan itu kata predikat perintah berupa "aamanuu,'amilu, aqaamu, aatawu" Â adalah pelaksanaannya ditujukan kepada Allah. Kata obyek "shaalihaati, shallaata, zakaata" adalah pelaksanaannya menjadi hak milik Allah. Kata 'wa' secara logika matematika adalah semuanya harus dilakukan agar pernyataan pesan berikutnya berlaku. Bilamana secara benar, semua perintah dikerjakan dan obyek menjadi hak milik Allah maka Allah memberi upah/pahala untuk mereka. Sebagai perbandingan nalar, majikan memberi pesan aturan kepada pembantu rumah tangga (prt) yaitu prt harus 'mempercayai dan memasak makanan dan menyapu lantai dan mencuci mobil'. Kata predikat 'mempercayai, memasak, menyapu, mencuci' hanyalah ditujukan kepada majikan. Obyek 'makanan, lantai, mobil' adalah hak milik majikan. Bila semua dikerjakan maka prt dapat upah dari majikan. Bagaimana misalnya kalau prt mencuci mobil tetangga, tentunya majikan tak akan memberi upah pada prt itu.
Pemahaman dan Implementasi Zakaat
Pesan QS 2:277 ada 'wa aatawuzzakaata', saat ini realitasnya pesan itu telah salah tafsir. Zakaat adalah hukum proses membersihkan diri dari obyek ciptaan Allah kembali pada hak milik Allah yang melekat pada diri manusia karena proses alamiah. Obyek ciptaan Allah ditandai oleh nama-nama surah Al Quran. Prosedur penunaiannya telah diatur di dalam Al Quran berupa perjanjian, pengakuan, persaksian, dan 'iqra/pernyataan yang semuanya di pihak Allah, yang mana prinsip sikap dan tindak nyata prosedur itu lazimnya dilakukan urusan dengan negara atau yang lainnya. Maka bukti bahwa Al Quran adalah sempurna. Zakaat adalah bagian hukum dari istilah thaharat. Thaharat adalah hukum mensucikan sang pencipta Allah dengan segala atribut yang melekatNya. Indikasi zakaat sudah ada sejak Allah mencipta alam semesta, Allah berdialog dengan malaikat dan jin tentang penciptaan manusia, Allah berdialog dengan Adam, dan perkara persembahan dari anak Adam, serta sampai pada Ibrahim. Semuanya agar berjanji, mengakui dan bersaksi di hadapan Allah.
Zakaat mulai terlembaga sejak nabi Ibrahim menyerahkan bangunannya (mushalla) relatif kepada Allah dan rumah itu bernama masjid absolut resmi hak milik Allah. Sistem yang terbangun di dalam masjid selalu diselewengkan kembali relatif oleh manusia sampai saat ini. Perumpamaan sistem absolut adalah laut dengan ikannya dan relatif adalah kolam dengan ikannya, ikan di buang ke laut jadi bersifat absolut dan ikan diambil dari laut ke kolam jadi bersifat relatif. Laut dan ikan di dalamnya tidak boleh dimiliki tetapi untuk membuang dan mengambil ikan di laut ada prosedur hukum yang harus ditempuh. Zakaat selalu mengacu pada istilah 'cipta atau fatharat/fithrah'. Manusia hanya punya hak kuasa dan hak guna, bilamana ada perubahan status cipta maka hak urusan harus diserahkan kepada Allah sang pencipta di masjid resmi milikNya.
Saat ini zakaat versi manusia mengacu pada apa yang menjadi rezeki yang dihimpun. Padahal rezeki dengan keadaan disempitkan atau dilonggar harus diinfaqkan kepada Allah (QS 2:3). Tafsir yang keliru  menjadikan istilah zakaat salah arti/definisi, salah pengertian dan maksud, salah pemahaman, dan akhirnya sulit diimplementasikan dengan sikap dan tindak nyata serta membangun sistem. Terjadi kreatifitas dan rekayasa istilah zakaat dengan pengkaburan kepada istilah shadaqaat dan infaq, pengelompokan harta yang menjadi zakaat beserta prosentasinya, dan kemungkinan penyimpangan lagi bisa terbuka.