Mohon tunggu...
suta
suta Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ijab kabul akad nikah bukanlah hukum nikah

8 November 2017   12:40 Diperbarui: 8 November 2017   14:32 2797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang islam secara fatal salah mengerti atau mempersepsikan bahwa peristiwa ijab kabul akad nikah sebagai (atau dianggap) hukum nikah. Fakta hukum itu sebenarnya adalah hukum jual-beli dengan alih-kuasa atas barang/makhluk  ciptaan Allah. Siapapun yang menciptakan sesuatu maka sang pencipta itu punya hak penuh atas obyek ciptaannya dengan membuat peraturan hukum yang melekat pada obyek cipta. Inilah dasar logika yang tidak  disadari oleh para ulama, kyai, syeikh, ustadz, habib, dan sarjana keagamaan. Allah menciptakan manusia dengan menyertakan produk hukum atau wahyu Allah yang didalamnya mengandung fungsi-fungsi hukum yang harus dilaksanakan oleh manusia untuk jalan berhubungan dengan Tuhannya. 

Contoh fungsi hukum jual-beli obyek manusia yang ada di dalam Al Quran dimaksudkan adalah transaksi atas obyek manusia hak cipta milik Allah yang dikuasai oleh pihak manusia pertama (penjual) berpindah ke pihak manusia kedua (pembeli) . Contoh lagi fungsi hukum nikah, yang berhak memasangkan kedua mempelai adalah Allah maka pihak yang menguasai perempuan dan laki-laki yang kena hukum maskawin  harus menyerah apa yang dikuasainya kepada Allah di rumahNya bernama masjid. Segala fungsi hukum berproses harus ada saksi Allah.

Hasil analisis pada ayat-ayat Al Quran, hukum nikah memerlukan persyaratan hukum ayat-ayat yang lain yaitu hukum 'proses cipta' pasangan dengan hukum laki-laki berstatus 'ciptaan' menaksir perempuan berstatus 'ciptaan', hukum pelamaran, hukum maskawin berupa perundingan sesuatu serahan sebagai obyek maskawin, hukum pernyataan/ungkapan/iqra' atas hak milik cipta, dan hukum persaksian.

Lama terjadi kekacauan terjemahan, pengertian atas maksud, pemahaman, dan praktek atas istilah-istilah yang ada di dalam Al Quran yaitu hukum masjid, hukum hajja dan 'umrata, hukum zakaat/shadaqaat, hukum syahadat, dan hukum obyek sosok hak milik berstatus 'ciptaan' adalah semuanya menjadikan kesulitan di dalam menempuh hukum nikah secara islami. Kekaburan terjadi yang mana obyek status 'cipta' berubah dengan status 'anak' atau 'warganegara', atau bisa yang lainnya. Orangtua tidak punya hukum nikah untuk maksud menikahkan anaknya. Negara memiliki undang-undang nikah  dimaksudkan adalah yang benar undang-undang akibat pernikahan sehingga negara punya hak untuk merubah status warganegaranya (emisi buku nikah) dan menyediakan saksi negara demi kepentingan warganegara itu berurusan dengan hak-hak negara seperti perubahan status KTP, struktur gaji, urusan utang-piutang, status anak, dan lainnya.

Seseorang yang mendirikan shalat di hadapan Allah pasti mengungkapkan syahadat yaitu intinya 'siap menjadi saksi di pihak Allah'. Bahwa sebenarnya persaksian itu adalah adanya alih kuasa atas apa yang menjadi obyek ciptaan Allah dan apa yang menjadi hak milik Allah pemberian dari manusia atas hasil usahanya. Namun persaksian tidak terlaksana akibat ketidak-fahaman status hukum masjid (where & when) dan Allah selalu menagih sumpah dan janji itu yang telah diungkapkan agar dipenuhi. Saksi dan persaksian adalah vital dan harus ada di dalam penyelenggaraan hukum-hukum Allah yang tertulis di dalam Al Quran.

Masjid adalah nama paten hak milik Allah dan status kepemilikan harus resmi dan sah menjadi hak milik Allah melalui prosedur ungkapan dan persaksian. Di dalam Al Quran Allah mengungkapkan istilah 'masjidan' dengan arti hasilnya masjid abal-abal/palsu kepemilikan tidak pernah diserahkan kepada Allah dan itu berjumlah sangat banyak, istilah 'masjidun' dengan arti hasilnya masjid secara de-facto sudah diserahkan kepada Allah dan resmi hak milikNya, istilah 'masjidin' dengan arti hasilnya masjid secara de-jure hak milik Allah dan di dalamnya terselenggara produk hukum milik Allah secara pasti. 

Masjid milik Allah berlaku layaknya seperti Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga berupa produk hukum Allah yaitu Al Quran, yang mana sebelumnya telah berlaku adalah Injil, Taurat, dan shuhuf Ibrahim. Istilah 'imaamaa' adalah seperti presiden direktur, berhubungan dengan jabatan-jabatan di semua level pada struktur organisasi hak milik Allah di dalam masjid. Ibrahim adalah manusia pertama yang ditunjuk langsung oleh Allah untuk menjabat presiden direktur atau 'imaama' masjid pertama masjidil haram di Mekah dan masjid kedua masjidil Aqsha di Yerusalem milik Allah. Istilah 'amiliina' adalah para pegawai hak milik Allah yang mengabdi di masjid.

Hukum nikah dan persyaratan sebagaimana disebut awal adalah hak milik Allah. Calon menantu dan calon bapak mertua yang berurusan dengan hukum nikah harus mendatangi masjid rumah Allah. Hukum nikah adalah proses cipta pasangan laki-laki dengan perempuan dan Allah adalah pencipta pasangan itu.  Pihak yang menguasai perempuan harus mengembalikannya kepada Allah dengan ungkapan/iqra' mengadung kata 'cipta'. Obyek yang dipasangkan adalah berstatus 'ciptaan'. Semuanya mengacu pada kata 'cipta'. Jadi pihak yang menguasai obyek ciptaan akan memasangkannya dengan status 'anak' atau 'warganegara' adalah suatu langkah yang tidak benar/cocok/klop.

Di dalam Al Quran Allah menetapkan hukum yaitu 'dan sempurnakan (kepada Allah) panggilan/ undangan/ hajja (hak milik Allah yang ada ditanganmu) dan (selesaikan) hukum ajak urus/ 'umrata (hak milik Allah yang ada ditanganmu). Allah menetapkan jadwal kunjung ke masjid rumah Allah (seharusnya ada masjid resmi dan sah milik Allah di wilayah terdekat hunian) dengan rentang waktu tiga bulan (dimulai 1 syawal sampai dengan 30 dzulhijjah) dan lama inap 2 sampai 3 hari untuk urusan di masjid. Baca 'aku kesulitan menyempurnakan hajja dan 'umrata' di ahmadsutarnostslo.blogspot.com. Selama proses nikah (sebaiknya semua tertulis dan terarsip di masjid) berlangsung di hadapan para saksi Allah di masjid, calon mertua harus membuat pernyataan/ iqra' untuk mengembalikan dan alihkuasa hak milik Allah sosok ciptaan berjenis perempuan itu dengan status 'cipta' bukan status 'anak/warganegara'. 

Calon menantu membuat pernyataan untuk menyerahkan dan alihkuasa kepada Allah sesuatu hak milik Allah (sebagai Al Akram) yang sudah disepakati bersama kedua pihak sebagai hukum maskawin. Sesuatu itu sebaiknya layak yang baik dan wajar untuk diberikan kepada Allah. Kemudian oleh para saksi Allah, sesuatu itu yang jadi milik Allah harus diberikan kepada yang berhak sebenarnya perempuan yang akan jadi pasangan. Oleh para saksi Allah, perempuan dalam kuasa dan status ciptaan Allah harus dialihkuasakan (ada pernyataan status cipta) kepada calon menantu itu. Laki-laki menantu yang sudah menguasai perempuan status ciptaan hak milik Allah dapat memfungsikannya sebagai istri. Hukum cerai adalah proses laki-laki sebagai suami mengembalikan dan alihkuasa kepada Allah sosok ciptaan perempuan sebagai istri yang dicerai (pernyataan tertulis dan terarsip di masjid).

Pada bulan-bulan haji itu semua orang yang tunduk kepada Allah berkunjung ke rumah Allah di wilayah hunian masing-masing. Mereka menyelesaikan urusan (transaksi setor dan tarik) untuk proses mengembalikan dan alihkuasa dengan Allah atas apa saja yang jadi hak milik Allah sebagai sesuatu hasil pinjamanNya atau pemberian rezekiNya. Oleh karena itu di dalam bulan-bulan itulah Allah dapat menyediakan hajatan segala urusan dan jamuan di dalam memenuhi para hamba Allah yang hadir ke masjid. Pada bulan haji ada larangan berburu dimaksudkan para hamba Allah yang berkunjung ke masjid jangan sampai terkecoh oleh binatang yang sudah terbebas hasil dari pengembalian dan alihkuasa kepada Allah. Bagaimana hukumnya dalam melaksanakan hukum nikah di luar bulan-bulan haji. Di dalam Al Quran Allah menetapkan beban untuk diserahkan dan alihkuasa terlebih dahulu dalam urusan dan proses pelaksanaan hukum nikah ditanggung oleh pihak yang berkepentingan dengan Allah.

Sebenarnya realitas hukum yang dianggap nikah saat ini adalah hukum proses jual-beli tak sempurna atas sosok perempuan ciptaan Allah, dan saksi itu adalah untuk kedua pihak calon mertua dan menantu, serta ditumpangi pernyataan perjanjian nikah. Di dalam Al Quran Allah menetapkan hukum jual-beli atas hak milikNya. Proses jual-beli atas hak milik Allah boleh di mana saja dan kapan saja, yang penting para saksi Allah harus ada dan hadir. Pernyataan jual-beli harus dengan status cipta atas obyek ciptaan Allah dan jangan dengan status 'anak/warganegara'. 

Pernyataan jual-beli harus dengan status 'pemurah/al akram' atas obyek non ciptaan Allah hasil penyerahan dari usaha manusia. Di dalam hukum proses jual-beli atas obyek sosok manusia ciptaan hak milik Allah menyebabkan kejadian alihkuasa dari Allah kepada manusia yang membeli itu dan diistilahkan 'malakat aimanakum' atau difungsikan sebagai 'budak belian'. Allah melarang pihak yang menguasai perempuan hasil dari membeli untuk dijadikan layaknya istri atau memaksa melacurkan diri. Oleh karena itu Allah menetapkan hukum membebaskan budak belian (riqaab) baik laki --laki atau perempuan demi berlaku hukum amilish-shaalihaati.

Anak yatim, wanita merdeka, dan janda adalah sosok ciptaan dalam kembalian dan kuasa hak milik Allah. Di dalam Al Quran hanya ada satu jalan hukum yang bisa ditempuh oleh laki-laki untuk menguasai mereka adalah melalui hukum nikah. Laki-laki dapat memfungsikan anak yatim (mengikuti hukum negara) sebagai anak angkat atau lainnya artinya tidak akan disenggamai. Semua perempuan dalam kuasa Allah seharusnya segera dialihkuasakan kembali kepada kaum laki-laki. Oleh karena itu Allah menetapkan adanya hukum poligami.

Di Indonesia khususnya adat Jawa dikenal istilah 'ijab kabul akad nikah' yang sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab dan 'asok tukon/pasok beli'. 'ijab berarti tawar', 'qablu berarti sebelum', 'khadz berarti ambil(keputusan)', dan 'nikah berarti nikah/kawin'. Frasa tersebut dapat dimaksudkan 'calon menantu menawar sosok perempuan dalam kuasa calon mertua sebelum mengambil keputusan melaksanakan hukum nikah'. Jelas fakta adalah hukum jual-beli meski tak sempurna, calon menantu sambil membawa sesuatu sebagai asok tukon mendatangi calon mertua untuk bertransaksi atas alihkuasa perempuan dituju. Di hadapan para saksi kedua pihak calon mertua bersedia mengalihkuasakan kepada calon menantu atas sosok perempuan itu dengan menumpangkan ungkapan/pernyataan janji 'kami nikahkan anak kami bernama A kepada B dengan maskawin C dibayar tunai' kepada calon menantu untuk menikahi perempuan itu (dimaksudkan di kemudian hari dan kenyataannya itu dianggap sebagai hukum nikah). Kekacauan praktek hukum antara jual-beli dan nikah telah terjadi. 

Adat Jawa mengenal istilah 'bangun nikah' seharusnya dimengerti sebagai bentuk usaha mendatangi rumah Allah dengan melakukan hukum membebaskan sosok perempuan yang dikuasai dari hasil beli (riqaab) dan lalu melakukan hukum nikah. Tetapi kenyataan istilah itu telah disesatkan pengertiannya. Hukum jual-beli yang benar sesuai dengan Al Quran atas sosok perempuan berstatus 'ciptaan' bilamana dilakukan secara benar maka kedua calon mempelai itu dapat melakukan 'pacaran' secara sah asal tidak disenggamai.Bila merasa cocok laki-laki itu dapat mendatangi rumah Allah masjid untuk melakukan hukum riqaab dan nikah.

Kesulitan dalam menjalankan hukum-hukum Allah adalah mencari 'masjidun' yang terdekat dan mustahil menemukan 'masjidin'. Ada cara untuk menyelenggarakan produk hukum Allah dengan meminjamkan kepada Allah rumah atau mushalla sebagai masjid darurat. Kesulitan akan muncul lagi yaitu apakah pihak yang terlibat bersedia menerima pandangan hukum ini dan mencari saksi-saksi di pihak Allah. Bilamana pandangan hukum ini diterima, negara seharusnya tidak ikut mengatur hukum nikah yang ada pertentangan dengan hukum Allah. 

Praktik hukum atas hak milik Allah berupa hukum jual-beli, hukum riqaab, dan hukum nikah menyebabkan perubahan status profile sebagai warganegara. Hak negara hanya sebatas perubahan status kepemilikannya atas warganegaranya akibat hukum itu yang mana berimplikasi terhadap yang lainnya hak dan kewajiban negara. Semua kesulitan bermuara pada perbedaan sikap dan praktek atas pemahaman hukum-hukum Allah. Semoga semua kesulitan segera sirna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun