Sebenarnya realitas hukum yang dianggap nikah saat ini adalah hukum proses jual-beli tak sempurna atas sosok perempuan ciptaan Allah, dan saksi itu adalah untuk kedua pihak calon mertua dan menantu, serta ditumpangi pernyataan perjanjian nikah. Di dalam Al Quran Allah menetapkan hukum jual-beli atas hak milikNya. Proses jual-beli atas hak milik Allah boleh di mana saja dan kapan saja, yang penting para saksi Allah harus ada dan hadir. Pernyataan jual-beli harus dengan status cipta atas obyek ciptaan Allah dan jangan dengan status 'anak/warganegara'.Â
Pernyataan jual-beli harus dengan status 'pemurah/al akram' atas obyek non ciptaan Allah hasil penyerahan dari usaha manusia. Di dalam hukum proses jual-beli atas obyek sosok manusia ciptaan hak milik Allah menyebabkan kejadian alihkuasa dari Allah kepada manusia yang membeli itu dan diistilahkan 'malakat aimanakum' atau difungsikan sebagai 'budak belian'. Allah melarang pihak yang menguasai perempuan hasil dari membeli untuk dijadikan layaknya istri atau memaksa melacurkan diri. Oleh karena itu Allah menetapkan hukum membebaskan budak belian (riqaab) baik laki --laki atau perempuan demi berlaku hukum amilish-shaalihaati.
Anak yatim, wanita merdeka, dan janda adalah sosok ciptaan dalam kembalian dan kuasa hak milik Allah. Di dalam Al Quran hanya ada satu jalan hukum yang bisa ditempuh oleh laki-laki untuk menguasai mereka adalah melalui hukum nikah. Laki-laki dapat memfungsikan anak yatim (mengikuti hukum negara) sebagai anak angkat atau lainnya artinya tidak akan disenggamai. Semua perempuan dalam kuasa Allah seharusnya segera dialihkuasakan kembali kepada kaum laki-laki. Oleh karena itu Allah menetapkan adanya hukum poligami.
Di Indonesia khususnya adat Jawa dikenal istilah 'ijab kabul akad nikah' yang sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab dan 'asok tukon/pasok beli'. 'ijab berarti tawar', 'qablu berarti sebelum', 'khadz berarti ambil(keputusan)', dan 'nikah berarti nikah/kawin'. Frasa tersebut dapat dimaksudkan 'calon menantu menawar sosok perempuan dalam kuasa calon mertua sebelum mengambil keputusan melaksanakan hukum nikah'. Jelas fakta adalah hukum jual-beli meski tak sempurna, calon menantu sambil membawa sesuatu sebagai asok tukon mendatangi calon mertua untuk bertransaksi atas alihkuasa perempuan dituju. Di hadapan para saksi kedua pihak calon mertua bersedia mengalihkuasakan kepada calon menantu atas sosok perempuan itu dengan menumpangkan ungkapan/pernyataan janji 'kami nikahkan anak kami bernama A kepada B dengan maskawin C dibayar tunai' kepada calon menantu untuk menikahi perempuan itu (dimaksudkan di kemudian hari dan kenyataannya itu dianggap sebagai hukum nikah). Kekacauan praktek hukum antara jual-beli dan nikah telah terjadi.Â
Adat Jawa mengenal istilah 'bangun nikah' seharusnya dimengerti sebagai bentuk usaha mendatangi rumah Allah dengan melakukan hukum membebaskan sosok perempuan yang dikuasai dari hasil beli (riqaab) dan lalu melakukan hukum nikah. Tetapi kenyataan istilah itu telah disesatkan pengertiannya. Hukum jual-beli yang benar sesuai dengan Al Quran atas sosok perempuan berstatus 'ciptaan' bilamana dilakukan secara benar maka kedua calon mempelai itu dapat melakukan 'pacaran' secara sah asal tidak disenggamai.Bila merasa cocok laki-laki itu dapat mendatangi rumah Allah masjid untuk melakukan hukum riqaab dan nikah.
Kesulitan dalam menjalankan hukum-hukum Allah adalah mencari 'masjidun' yang terdekat dan mustahil menemukan 'masjidin'. Ada cara untuk menyelenggarakan produk hukum Allah dengan meminjamkan kepada Allah rumah atau mushalla sebagai masjid darurat. Kesulitan akan muncul lagi yaitu apakah pihak yang terlibat bersedia menerima pandangan hukum ini dan mencari saksi-saksi di pihak Allah. Bilamana pandangan hukum ini diterima, negara seharusnya tidak ikut mengatur hukum nikah yang ada pertentangan dengan hukum Allah.Â
Praktik hukum atas hak milik Allah berupa hukum jual-beli, hukum riqaab, dan hukum nikah menyebabkan perubahan status profile sebagai warganegara. Hak negara hanya sebatas perubahan status kepemilikannya atas warganegaranya akibat hukum itu yang mana berimplikasi terhadap yang lainnya hak dan kewajiban negara. Semua kesulitan bermuara pada perbedaan sikap dan praktek atas pemahaman hukum-hukum Allah. Semoga semua kesulitan segera sirna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H