Mohon tunggu...
Maheido
Maheido Mohon Tunggu... Penulis - Blogger Animasi

Penggemar karya animasi dan komik. Blog pribadi: www.maheidoku.web.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Utopia Bhinneka Tunggal Ika dalam Perjalanan Indonesia

4 April 2022   14:05 Diperbarui: 4 April 2022   14:16 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bhinneka Indonesia. Ilustrasi: Dokumen Pribadi

"Bhinneka Tunggal Ika" adalah semboyan bernegara Indonesia yang secara teori sebenarnya cukup mengagumkan dan terbukti ampuh membangun semangat persatuan.

Dalam Kitab Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular dimana kalimat itu berasal, kurang lebih memiliki arti "yang (kamu kira) berbeda itu, mereka (sebetulnya) satu".

Tidak ada yang menyangka, sebuah negara dunia ketiga yang masih 'batita' pada waktu itu akan mampu menawarkan konsep bernegara yang terdengar 'berani' semacam itu.

Di sisi lain, para pendiri Indonesia sangat beruntung bisa menemukan 'sesuatu' yang pada saat itu memang sangat dibutuhkan untuk menjahit perbedaan dari seluruh negeri.

Namun daripada disebut hebat, semboyan itu sebenarnya lebih terdengar 'gila' pada masanya. Apalagi semuanya lalu diikat ke dalam sebuah paket negara kesatuan.

Sebuah langkah visioner yang cukup berani dari para pendiri bangsa ini demi menciptakan 'surga' di atas pulau-pulau penuh 'ranjau' bernama keberagaman dan kemajemukan.

Bayangkan, menurut sensus BPS tahun 2010 saja tercatat ada lebih dari 300 kelompok etnis atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia.

Ditambah fakta bahwa sebelum negara Indonesia berdiri, masyarakat dari Aceh sampai Papua masih hidup terkotak-kotak mengikuti suku, agama, budaya, dan bahasa masing-masing.

Karena tidak ada satu pun kerajaan-kerajaan nusantara di masa lalu yang pernah punya pengalaman mengelola negara dengan masyarakat yang semajemuk Indonesia.

Bahkan ketika masa Hindia-Belanda, walau masyarakat sudah agak bercampur antar daerah. Pemerintah kolonial masih mengotakkan penduduk dalam kelompok-kelompok.

Oleh karena itu, banyak masyarakat dan tokoh politik yang masih gagap menghadapi kemajemukan ini. Terutama antara Indonesia barat dan timur yang diantaranya beda ras dan warna kulit.

Kedengkian berujung Rasisme dalam skala kecil maupun besar akhirnya sering muncul jadi masalah yang terkadang sulit dihindari bahkan hingga di masa seperti sekarang.

Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sesungguhnya telah memaksa kita untuk mendefinisikan ulang siapa diri kita, siapa identitas kita, siapa keluarga sebangsa kita suka atau tidak.

Mengikuti apa yang telah disepakati para pemuda dalam Sumpah Pemuda sebagai hasil dari Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928.

Tentu menjadi tantangan yang cukup berat untuk menerapkan semboyan itu. Lagipula, hidup berdampingan dengan sesama suku atau ras jauh lebih nyaman kan.

Faktor geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan juga turut andil dalam menghambat perwujudan mimpi 'utopia' yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa itu.

Situasi perpolitikan daerah dan nasional yang mudah bergejolak serta kondisi perekonomian dan pendidikan yang timpang juga memperparah gesekan di antara masyarakat.

Kualitas penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat daerah hingga pusat yang buruk membuat sebagian masyarakat semakin kehilangan kepercayaannya pada negara.

Contohnya, GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka), Konflik Sampit (2001), Konflik Etnis Tionghoa dan Pribumi di Surakarta (1972-1998), Konflik Ambon (2001), Kerusuhan Poso (1998-2001).

Adapun PRRI, Permesta, DI/TII, Tragedi 1965 (G30S/PKI), Reformasi 1998, dan Aksi 212 sebagai segelintir contoh konflik ideologi politik yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.

Ada masih banyak lagi konflik lainnya dan semua itu terjadi setelah masa kemerdekaan Indonesia. Lihatlah, utopia "Bhinneka Tunggal Ika" itu pahit dan rumit dalam praktiknya.

Sungguh sangat mengejutkan ketika hari ini kita melihat Indonesia masih bisa berdiri setelah berulang kali mengalami sederet konflik yang cukup memilukan.

Tidak berlebihan rasanya jika kita melabeli Indonesia sebagai salah satu negara paling berpengalaman di dunia dalam mengelola kemajemukan masyarakat.

Semua pengalaman itu juga membuat masyarakat Indonesia cenderung lebih terbuka dan dinamis dibandingkan negara lainnya terutama di ASEAN meskipun belum sempurna.

Sayangnya, Indonesia saat ini masih jauh dari "Bhinneka Tunggal Ika" yang paripurna. Mari kita awasi saja apa yang menanti Indonesia di masa depan, "surga" atau "neraka".

Sekaligus seberapa mampu Indonesia mempertahankan reputasi dan 'memaksa' rakyatnya meninggalkan romantisme masa lalu untuk menjadi bangsa yang baru, Bangsa Indonesia.

Hingga tidak terlintas lagi di benak kita pertanyaan seperti, "Masih layakkah kita mempertahankan Indonesia?" atau "Masih layakkah kita bersama dengan Indonesia?"

Dengan semangat yang sama seperti saat Indonesia secara kompak bersatu mengusir penjajah di masa lalu hingga mencapai kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun