Oleh karena itu, banyak masyarakat dan tokoh politik yang masih gagap menghadapi kemajemukan ini. Terutama antara Indonesia barat dan timur yang diantaranya beda ras dan warna kulit.
Kedengkian berujung Rasisme dalam skala kecil maupun besar akhirnya sering muncul jadi masalah yang terkadang sulit dihindari bahkan hingga di masa seperti sekarang.
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sesungguhnya telah memaksa kita untuk mendefinisikan ulang siapa diri kita, siapa identitas kita, siapa keluarga sebangsa kita suka atau tidak.
Mengikuti apa yang telah disepakati para pemuda dalam Sumpah Pemuda sebagai hasil dari Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928.
Tentu menjadi tantangan yang cukup berat untuk menerapkan semboyan itu. Lagipula, hidup berdampingan dengan sesama suku atau ras jauh lebih nyaman kan.
Faktor geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan juga turut andil dalam menghambat perwujudan mimpi 'utopia' yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa itu.
Situasi perpolitikan daerah dan nasional yang mudah bergejolak serta kondisi perekonomian dan pendidikan yang timpang juga memperparah gesekan di antara masyarakat.
Kualitas penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat daerah hingga pusat yang buruk membuat sebagian masyarakat semakin kehilangan kepercayaannya pada negara.
Contohnya, GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka), Konflik Sampit (2001), Konflik Etnis Tionghoa dan Pribumi di Surakarta (1972-1998), Konflik Ambon (2001), Kerusuhan Poso (1998-2001).
Adapun PRRI, Permesta, DI/TII, Tragedi 1965 (G30S/PKI), Reformasi 1998, dan Aksi 212 sebagai segelintir contoh konflik ideologi politik yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.
Ada masih banyak lagi konflik lainnya dan semua itu terjadi setelah masa kemerdekaan Indonesia. Lihatlah, utopia "Bhinneka Tunggal Ika" itu pahit dan rumit dalam praktiknya.