Mereka adalah pemangsa, makanan utamanya adalah teriakan-teriakan masyarakat, makanan sampingannya adalah peristiwa viral, makanan ringannya adalah konten pesanan, minumannya adalah pengetahuan dan keunikan.
Layaknya air, untuk dapat tetap eksis, pers juga perlu beradaptasi menyesuaikan perubahan zaman, lingkungan tempatnya berada, dan selera target audiensnya. Meskipun Ia mungkin sudah tidak semurni dulu lagi.
Pers dan setiap insannya punya pemikirannya sendiri. Bagi mereka, setiap harinya adalah medan tinju untuk saling bersaing berebut mangsa dibawa pulang. Menang adalah keharusan dan waktu adalah ringnya.
Di suatu tempat, mereka dipuji sebagai pilar utama Demokrasi. Berperan penting menjadi teropong publik menjelajahi lautan informasi. Konon katanya, kehadiran mereka vital sebagai penyeimbang sang pemegang kuasa.
Bagi mereka, kepercayaan adalah nyawa dan kebenaran adalah nadinya. 'Apa','Kapan', 'Dimana', 'Siapa', 'Kenapa', dan 'Bagaimana' adalah mantranya. Mereka berkata bahwa itu semua adalah hal yang wajib dijaga.
Tetapi rupanya mereka juga tersadar bahwa kebenaran dan kepercayaan bukan satu-satunya. Dunia bukan hanya soal keadilan yang pada akhirnya mudah dilupakan. Perkawanan, kekuasaan, dan kekayaan juga ikut menentukan.
Tidak jarang, mereka sering kewalahan oleh dilema saat tiba di tengah titik simpang. Dari banyak jalan yang ada, banyak dari mereka yang memilih hanya memandang dari pinggiran. Kini, lisan aksara mereka telah keruh.
Mereka bilang itu tidak asal-asalan dan sudah dipikirkan. Sebagai bentuk komitmen, mereka menciptakan pembatas yang disebut 'bingkai', 'agenda', dan 'neraca'. Sehingga tidak ada yang perlu dirugikan.
Dengan begitu mereka percaya masih layak menjadi mata masyarakat namun, di sisi lain masih bisa berkawan baik dengan semuanya sekaligus menghasilkan. Daripada berjalan lurus, mereka lebih suka menyamping.
Masyarakat marah karena kepercayaan mereka tidak dianggap yang utama. Kini mereka mencaci, "Kebenaran mana yang kau sampaikan?". Mereka menjawab, "Hei...! Ini yang terbaik untuk kita semua, mengertilah!".
Pers Indonesia bagai elang bermata minus. Tidak ada lagi yang meragukan kekuatan dan ketangguhannya. Ia mempunyai insting dan cakar yang tajam. Ia bahkan bisa terbang tinggi ke mana saja.
Ia punya kemampuan mencakar semua kegelapan yang ada dalam jangkauannya tetapi Ia tidak melakukannya. Karena masanya tidak tepat, karena itu terlalu berisiko, karena itu hanya akan merugikan.
Di sana Ia malah mengaburkan pandangannya, mengatup setengah telinganya, mencukur setengah cakarnya. Hanya memandang dari atap bumi sambil melayang tanpa arah dengan luas sayapnya. Mengikuti ke mana udara menuntunnya.
Jadi masih layakkah engkau dianggap mulia setelah semua. Kepercayaan yang mana yang masih layak engkau terima. Mau ke mana tujuanmu yang selanjutnya, membawa wajah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H