Mohon tunggu...
Masta Marselina Sembiring
Masta Marselina Sembiring Mohon Tunggu... -

Saya seorang Mahasiswa jurusan keguruan, ingin mencoba menulis apa yang saya pikirkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Pudarnya Merahku…

2 Maret 2010   15:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dua bulan sampai tiga bulan aku belum tahu kalo kejadian itu membuat aku berubah, kecurigaan terhadap tubuhku sudah bisa di ramalkan oleh setiap orang di kampus. Baik teman-teman maupun dosen. Tetapi rasa curiga itu tidak aku masukkan ke hati. Ardi tetap bersamaku dan setia menemaniku serta selalu percaya padanya. Semerter IV kuselesaikan dengan baik, semua mata kuliah berjalan dengan lancar.

Libur semester IV pun di mulai pada tanggal 20 juni 2009. Aku pulang kampung dan membawa nilai kuliahku kepada kedua orang tuaku. Ardi mengantarkan aku ke Stasiun yang nantinya menjadi perjumpaan terakhir bagiku.

"Hati-hati dek" pesan Ardi dengan penuh senyuman manis yang memiliki makna yang tidak ku ketahui. Setelah beberapa 2 jam perjalanan aku akhirnya sampai di rumah. Aku disambut bapak dan mamak dengan sangat bangga.

Seminggu berlalu tanpa aku sadari Ardi tidak pernah menghubungi aku. Aku tetap saja tidak ada perasaan curiga. Aku tetap saja merasa biasa. Sore hari aku pun mandi, selesai mandi aku berdiri di depan kaca merasa baju yang kupakai biasanya kupakai, rasanya tidak muat lagi. Aku mulai sadar, dan kulihat cermin yang seakan berbicara kepadaku. Aku lihat apa yang berbeda ternyata perutku. Aku ingat kalo aku sudah telat 5 bulan. Aku bingung, aku gila, aku nangis, jika teriak mamak pasti dengar. Aku terus saja menangis di bawah pinggir tempat tidurku. Mungkin karena mamak mendengar suara tangis kecilku, membuat mamak masuk ke kamar dan melihat keadaanku. Aku langsung memeluk mamak.

"Maafkan aku mak" aku terus saja menagis dan membuat mamak bingung. Aku terus memeluknya erat.

"Kenapa Yan?" aku diam tak mau berkata lagi, mamak mendorongku dan melihat keadaanku, karena takut aku langsung mengatakannya "Mak aku hamil" mamak mendengar itu seperti petir disiang bolong. Dia mendorong aku hingga jatuh dan hiteris menagis. Aku terus memengang kakinya untuk meminta maaf. Sampai akhirnya bapak datang karena mendengar keadaan itu beserta adik-adikku.

"Ada apa ini?" mamak dan aku terus saja menagis, mamak tidak mau mengatakannya apa lagi aku yang sudah berbuat dosa dan membuat keluarga malu, selaku mamak dan bapak guru aku telah mencoreng nama baik keluarga.

Bapak terus bertanya, "Kenapa Yan?".

Mamak langsung berkata, "Anak kita Hamil".

Bapak terkejut, diam, tensinya naik dan pingsan. Aku semakin merasa bersalah, itu semua karena aku. Aku telah mengahcurkan keluarga kami. Kedua adikku teriak, memanggil para tetangga untuk membantu bapak. Setelah diperiksa oleh dokter, bapak menderita struk ringan dan tidak dapat menerima masalah yang begitu berat. Bapak tidak bisa berdiri lagi dan berbicara untuk mengajar, dia hanya menagis melihat aku. Jika tetangga menayakan apa yang terjadi, aku hanya menjawab "tidak tahu". Mamak tidak mempedulikan aku, dia hanya diam dan terus duduk di samping bapak. Akhirnya malam hari aku mengingat Ardi, laki-laki berandalan yang menghancurkan hidupku.

Pagi-pagi sekali tanpa berpamitan aku berangkat ke Siantar, dengan alamat yang pernah di berikan Ardi padaku. Dalam perjalanan aku terus saja menangis sedih dan memengang perutku ynag semakin buncit. Aku harus tegar, aku harus berjuang. Setelah sampai di kota itu, aku menayakan alamat kepada setiap orang yang lewat. Akhirnya aku menemukannya, disebuah komplek perumahan. Tetapi ada yang janggal, rumah itu terlihat sunyi dan kosong. aku memanggil nama lelaki itu "Ardiiii, Ardii" terus saja dipanggil tetapi tidak ada orang yang keluar. Akhirnya tetangga sebelah keluar, karena mungkin mendengar panggilanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun