Polemik PP Nomor 25 Tahun 2024, semakin menjadi. NU mulai dibandingkan dengan Muhammadiyah atau ormas keagamaan lain. Intinya, ada pihak-pihak yang sengaja mengadu domba antar ormas-ormas tersebut.
Menurut keterangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Gus Yahya, NU memang butuh atas afirmasi pemerintah atas organisasi keagamaan. Lebih lanjut, Gus Yahya mengatakan modal sumber daya komunitas atau organisasi sudah mulai tidak mencukupi.
Tanpa mengurangi sikap takzim, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Gus Yahya. Bagaimana cara NU mengelola revenue atas konsesi itu? Apakah NU siap dalam hal sistem atau kemampuan manajerial di bidang itu? Apakah hasil itu dapat menyejahterakan warga NU sampai pelosok kampung?
Pengalaman yang sudah-sudah, NU memang kalah dari Muhammadiyah dalam aspek tata kelola ekonomi keumatan. Saya tidak menyalahkan PBNU, tetapi memang ada individu yang tidak kompeten dan memperkaya diri sendiri.
Sengaja saya menulis ini untuk mengingatkan kita semua pengurus NU mulai dari pengurus besar sampai tingkat ranting. Karena KH. Wahab Hasbullah pernah dawuh: "Hidupkan NU ini, namun jangan sekali-kali mencari hidup di NU."
Saya masih optimis, andai saja PBNU memberi perhatian di setiap PCNU (Pengurus NU tingkat kabupaten/kota) agar menciptakan sumber daya yang komprehensif sampai ke warga NU di kampung/pedesaan.
Belajar dari akhi 'R' yang mampu mengelola perusahaan dengan omset cukup besar, rasanya NU sangat perlu belajar darinya. Andaikan modal bisnis itu dapat menumbuhkan ekonomi keumatan, maka warga NU sampai tingkat ranting akan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H