Mohon tunggu...
Muchammad Syahril Mubarok
Muchammad Syahril Mubarok Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Suka dengan kopi hitam dan netflix

Selanjutnya

Tutup

Politik

Moderasi Politik Perspektif Al-Farabi dan Kiai Sahal Mahfudh

22 April 2024   13:14 Diperbarui: 22 April 2024   14:22 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Al-Farabi dan KH. Sahal Mahfudh. Gambar diolah dari berbagai sumber

Dalam demokrasi yang terjadi di Indonesia, masyarakat dihimbau untuk menyalurkan hak suaranya setiap lima tahun atau periode. Berbagai pilihan seperti partai politik, kepala daerah bahkan calon presiden dan wakil presiden menunjukkan kerja keras masing-masing guna meraih simpati rakyat. Namun, Indonesia selalu mengalami momentum menyakitkan saat penyelenggaraan pesta demokrasi.

Peristiwa Al-Maidah 51 di pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, menjadi peristiwa kelabu yang mewarnai demokrasi kita. Penyebabnya adalah ketidaktahuan konteks tafsir kemudian digunakan senjata oleh lawan untuk menjatuhkan calon lain. Peristiwa ini menimbulkan perpecahan antar umat beragama dan etnis dari kontes politik.

Pada tahun 2019, Kementerian Agama RI menerbitkan buku bejudul Moderasi Beragama, yang berisi kerangka konsep, pengalaman empirik dan strategi implementasi moderasi beragama. Dalam sambutannya, Lukman Hakim Saifuddin menyatakan jika moderasi beragama penting dan menjadi strategi kebudayaan. Dalam bernegara juga disarankan agar pemahaman keagamaan bisa berjalan harmonis dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Tulisan ini akan membedah bagaimana kita sebagai masyarakat yang beragama, juga tidak lepas dari politik. Terdapat konsep al-Madinah al-Fadhilah dari al-Farabi yang mencita-citakan bentuk negara yang ideal. Al-Farabi menyatakan setiap warga negara haruslah memiliki ide dan memperjuangkan titik terakhir yaitu tujuan bersama sebagai warga negara yang moderat. Kemudian pada bagian ini juga, akan dikembangkan gagasan politik moderat perspektif Kiai Sahal Mahfudh yang mendambakan akan kemaslahatan bersama. Tujuannya agar mampu mengaktualisasikan moderasi beragama sebagai konsep menghadapi tahun politik atau menjadi pelaku politik. Masyarakat tidak menjadi eksklusif dalam mengambil ijtihad politiknya.

Pengertian Politik dalam Islam

Politik atau al-Siyasah memiliki berbagai pengertian. Pada umumnya politik bermakna sebagai jalan memilih peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh seluruh masyarakat agar menciptakan kehidupan yang harmonis. Begitu pula dengan definisi oleh Peter Merkl yang menyebut bahwa "politics, at its best is a noble quest for a good order and justice" (politik merupakan upaya mencapai suatu tatanan sosial). Pengertian politik di sini sebagai segi positif.

Lain halnya dari segi negatif. Politik dimaknai oleh beberapa ahli sebagai usaha untuk mencapai kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Pengertian negatif politik ini yang sering kita dengar. Akibatnya, sebagian masyarakat lebih apatis terhadap momentum demokrasi yang terjadi.

Dalam teori-teori politik sekuler, politik lebih sering dipisahkan dari agama. Politik juga tidak dapat diabaikan dari agama Islam. Keduanya memiliki titik yang cukup erat, jika keduanya dipahami sebagai sarana tatanan kehidupan manusia secara menyeluruh. Rasulullah SAW. dan Khulafa al-Rasyidin juga mengalami perpolitikan pada zamannya. Mereka selain menjadi pimpinan agama, sekaligus memimpin negara. Dua fungsi ganda ini sering disebut dengan konsep Imamah, dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan umum, pada dasarnya interaksi politik dengan serangkaian active relationship (pola aktif) antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan. 

Secara fikih, dari kalangan ulama mazhab Hanbali mengartikan al-Siyasah (politik) sebagai sikap, perilaku dan public policy yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus mafsadah (kerusakan), walaupun belum pernah ditentukan oleh Raslullh SAW. Dari ulama mazhab Hanafiyah, politik dimaknai sebagai kemaslahatan makhluk dengan instrumen dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut ulama Syafi'iyyah, politik harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, dapat dikatakan politik memang harus diupayakan, sikap dan kebijakan mencapai maqashid al-syari'ah (tujuan syariat). Maqashid al-syariah itu antara lain: pertama, hifdz al-Din yaitu memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. Kedua, hifdz al-'Aql, atau menjaga akal dan mengembangkan pemikiran untuk kepentingan umat. Ketiga, hifdz al-Nafs yaitu memelihara jiwa raga dari segala bahaya dan memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan suplementer. Keempat, hifdz al-Mal atau menjaga harta dengan peningkatan komoditas dan tanpa melampaui batas maksimal serta mengurangi batas minimal. Dan yang kelima, hifdz al-Nasl atau menjaga keturunan dengan memenuhi hajat fisik maupun ruhani.

Pada dasarnya, Islam memandang politik sebagai jalan menuju kemaslahatan. Kesimpulannya, dalam Islam, memahami politik bukan berarti hanya urusan dengan struktur formalistik belaka, namun juga menyangkut kultur politik yang secara luas. Politik tidak hanya perjuangan meraih posisi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Lebih dari itu, politik sebagai rangkaian aktivitas yang berhubungan pada kemaslahatan umat dari aspek jasmani dan ruhani, dari aspek hubungan antar masyarakat umum dan hubungan masyarakat sipil dengan pemegang kekuasaan. Struktur politik seperti ini didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi "tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah" (kebijakan pemimpin harus mengarah pada manfaat masyarakat).

Tinjauan Kritis Term "Moderasi Beragama"

Sejauh pengamatan penulis, moderasi beragama mulai dikampanyekan oleh pemerintah dari tahun 2019. Kementerian Agama beberapa kali menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menggodok konsep moderasi beragama. Yang kemudian masuk dalam prioritas nasional Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di bidang Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan. 

Moderasi beragama merupakan susunan dua kata dari moderasi dan agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi memiliki dua makna. Pertama, bentuk pengurangan kekerasan, kedua, penghindaran keekstreman. Pada bahasa Arab, seringkali kata moderasi disejajarkan dengan kata wasathiyah. Wasathiyah mempunyai beragam makna, pertama, berasal dari kata wasath, yang berarti bayna (antara). Kedua, dari akar kata wasatha. Kata wasath secara nomina diartikan dengan antara dua ujung. Secara sifat, berarti khiyar atau terpilih, terbaik, terutama. Wasath juga berarti al-'adl atau adil, dan wasa bisa berarti sesuatu yang ada di antara yang baik dengan yang buruk.

Dari pengertian di atas, moderasi beragama menjadi sesuatu yang sangat pokok, jika bicara pada relasi antar pemeluk agama dan kepercayaan. Tetapi, pengertian tadi juga relevan dengan trend politik di Indonesia. Ada empat indikator yang menjadi ciri atau ukuran orang yang dikatakan moderat: 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif pada budaya lokal.

Empat indikator moderat di atas, menjadi ukuran seseorang untuk bagaimana ia menjalani kehidupan bermasyarakat. Begitu halnya dalam politik, seseorang haruslah bersikap moderat menjalankan demokrasi di Indonesia. Ukuran awal ialah dapat berkomitmen terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian ia dapat bertoleransi pada perbedaan pilihan politik.

Konsep Politik al-Farabi dan Gagasan Kiai Sahal

Umat Islam sebagai masyarakat Indonesia dengan kategori pemeluk agama terbanyak, mengalami dinamika politik. Pasca reformasi, Indonesia bergerak menuju harapan sebagai negara yang maju dari aspek sosial, politik dan kehidupan antar suku beragama. Di tahun 2016-2017, muncul politik identitas yang terjadi jelang pemilihan kepala daerah atau gubernur DKI Jakarta. Banyak sekali kajian yang memang memfokuskan pada fenomena tersebut yang dikaitkan dengan perilaku politik yang dikaitkan dengan agama, sehingga muncul istilah "politik identitas".

Endang Sari dalam Jurnal berjudul "Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta", mengungkapkan bahwa kebangkitan politik identitas sengaja dihadirkan oleh para elit politik untuk meraih kekuasaan serta membangun psikologis umat Islam dari citra diri sebagai sesama muslim dan perasaan harga diri karena agamanya dinistakan. Ia merekonstruksi argumentasi Frederick Barth yang mengatakan agama dan etnisitas cenderung berubah dan batas keanggotaan etnik mengalami negosiasi-negosiasi tergantung situasi. Negosiasi-negosiasi identitas itu ditunjukkan dengan eksploitasi simbol-simbol budaya dan perilaku etnik tertentu atau sesuai kepentingan pribadi.

Fenomena yang terjadi memang menimbulkan dinamika bagi masyarakat. Terlebih setiap momentum pemilihan umum. Setiap pelaku politik sering menggunakan narasi-narasi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Oleh karena itu, masyarakat beragama harus memiliki pedoman dalam berpolitik.

Al-Farabi telah memberikan konsep al-Madinah al-Fadhilah atau Negara Utama. Dalam konsep al-Madinah al-Fadhilah, masyarakat hidup untuk saling membantu satu sama lain, untuk mencapai kepentingan bersama yakni kebahagiaan. Konsep ini muncul dari pemikiran Al-Farabi tentang bentuk kenegaraan dalam harmoni agama dan filsafat. Ia meneladani kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai penyampai risalah dan khalifah di muka bumi. Sikap Rasulullah itulah yang dijadikan tolok ukur Al-Farabi mengenai konsep kenegaraan.

Adapun ciri al-Madinah al-Fadhilah antara lain: pertama, ideologi warga negara. Dalam hal ini, Pancasila sebagai ideologi menjadi ciri utama bagi masyarakat Indonesia. Kedua, Akhlak atau integritas. Di sini, Al-Farabi meyakinkan pemikirannya pada akhir tujuan akhlak adalah kebahagiaan total (kemaslahatan), baik itu bersifat materil dan spiritual. Dan yang ketiga, keragaman. Bahwasanya, Al-Farabi juga bercita-cita untuk persamaan dan persatuan antar sesama manusia. Maka dari itu, untuk menguatkan perspektif kita pada kondisi menghadapi tahun politik, umat Islam harus mengarusutamakan tiga ciri yang digagas oleh Al-Farabi tersebut.

Kemudian pandangan "Kulturisasi Politik" dari Kiai Sahal Mahfudh mengenai Islam dan politik. Dalam konteks Indonesia, Kiai Sahal menyatakan ada korelasi yang telah jelas antara Islam dan politik. Khususnya pada penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Melalui pendekatan fikih, Kiai Sahal menggagas hubungan Islam dan politik. Dasar yang digunakan selain Al-Qur'an dan Al-Sunnah, Kiai Sahal merumuskan kaidah-kaidah politik yang sangat cukup dan dapat dijadikan pedoman untuk kalangan muslim.

Kiai Sahal juga berpendapat, politik tidak hanya merebut posisi di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi lebih dari itu, yang meliputi kemaslahatan umat dalam kehidupan (baik jasmani dan rohani), serta hubungan antar sesama umat manusia (masyarakat umum dan antara sipil dengan lembaga kekuasaan). Dari konstruksi politik ini, Kiai Sahal menggunakan kaidah fikih; tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus mengarah pada manfaat masyarakat). Dalam arti, setiap pemimpin atau buah dari proses politik adalah untuk kemaslahatan masyarakat.

Sudah seharusnya nilai-nilai Islam menjadi sumber dan faktor penentu budaya politik, tata nilai, persepsi, keyakinan dan tabiat individu atau kelompok dalam aktivitas dan sistem politik. Kiai Sahal menyimpulkan bahwa implementasi nilai Islam pada budaya politik yang Pancasilais, bergantung di kekuatan nilai-nilai tersebut yang memberikan efek proses politik itu sendiri. Karenanya, dalam Islam dianjurkan untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan dalam suatu pemerintahan.

Jalan Politik Moderat Al-Farabi dan Kiai Sahal

Konsep al-Madinah al-Fadhilah dari Al-Farabi dan "Kulturisasi Politik" Kiai Sahal masih relevan dengan kondisi politik terkini. Perbedaan pilihan politik yang seharusnya menjadi keanekaragaman konstruktif, justru menjadi destruktif seperti intoleransi dan hate speech. Masyarakat sudah seharusnya menentukan pilihan politiknya tanpa menjatuhkan pilihan satu sama lain.

Survei yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2017, terdapat lima kota urutan terbawah dengan tingkat toleransi terendah di antaranya DKI Jakarta, Banda Aceh, Bogor, Cilegon dan Depok. Begitu pula data tahun 2016, dari Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang menunjukkan persentasi intoleran tinggi terhadap non-muslim dengan skor 38,4 persen. Hal ini diperkuat lagi dari temuan survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) di tahun 2017. Menunjukkan ada kecenderungan generasi milenial untuk memilih pemimpin yang seagama dengan skor 53,7 persen.

Dari data di atas, menunjukkan tingkat intoleran yang cukup tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Penyebabnya antara lain sentimen agama dan pilihan politik. Kondisi ini mempertegas bahwa nilai-nilai kebangsaan sudah tergerus dalam pandangan warga negara. Perlu ada pedoman kuat untuk menghindari konflik-konflik antar anak bangsa yang berkepanjangan. 

Moderasi politik melalui filsafat Al-Farabi menunjukkan bagaimana ciri-ciri kehidupan negara menuju masyarakat yang harmonis. Penguatan dan pengamalan Pancasila sebagai ideologi menjadi titik awal untuk menjalankan kewarganegaraan. Lalu, sebagai makhluk Allah, kita juga dituntut memiliki integritas dan tidak keluar dari pakem. Yang terakhir, menerima hidup berdampingan dan terus bersosialisasi antar sesama manusia atau warga negara.

Kiai Sahal juga menganjurkan umat muslim ketika berpolitik untuk tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Ia tidak setuju dengan cara-cara eksploitasi massa dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi semata, melainkan persoalan tata kelola kehidupan yang lebih maslahat bagi umat.

_________________________

*REFERENSI

Al-Farabi. Ara' Ahlu al-Madinah al-Fadhilah. Beirut: Dar al-Masyriq, 1996.

Al-Shallabi, Ali Muhammad. al-Wasathiyyah fi al-Quran al-Karim. Kairo: Maktabah at-Tabi'in, 2001.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Cet. Pertama. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Mahfudh, KH. MA. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1994.

Merkl, Peter H.. Continuity and Change. New York: Harper and Row, 1972.

Said, Abdullah. "Filsafat Politik Al-Farabi", Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 1 No. 1, 2019.

Sari, Endang. "Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta". KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Vol. 2 No. 2, Desember 2016

Akses Media:

Center for Strategic and International Studies. (2017). "Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik." Diakses dari https://www.csis.or.id/ uploaded_file/ event/ ada_apa_dengan_milenial_paparan_survei_nasional_csis_mengenai_orientasi_ekonomi_sosial_dan_politik_generasi_milenial_indonesia_notulen.

Setara Institute. "Indeks Kota Toleran Tahun 2017". diakses dari https://setara- institute.org / indeks- kota-toleran-tahun -2017/

bbc.com. "Sidang Al Maidah: Dua tahun penjara untuk Ahok, langsung ditahan", diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39853373

*Tulisan ini telah dimuat juga dalam buku "Moderasi Beragama Perspektif Politik" terbitan Yayasan Talibuana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun