Moderasi beragama merupakan susunan dua kata dari moderasi dan agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi memiliki dua makna. Pertama, bentuk pengurangan kekerasan, kedua, penghindaran keekstreman. Pada bahasa Arab, seringkali kata moderasi disejajarkan dengan kata wasathiyah. Wasathiyah mempunyai beragam makna, pertama, berasal dari kata wasath, yang berarti bayna (antara). Kedua, dari akar kata wasatha. Kata wasath secara nomina diartikan dengan antara dua ujung. Secara sifat, berarti khiyar atau terpilih, terbaik, terutama. Wasath juga berarti al-'adl atau adil, dan wasa bisa berarti sesuatu yang ada di antara yang baik dengan yang buruk.
Dari pengertian di atas, moderasi beragama menjadi sesuatu yang sangat pokok, jika bicara pada relasi antar pemeluk agama dan kepercayaan. Tetapi, pengertian tadi juga relevan dengan trend politik di Indonesia. Ada empat indikator yang menjadi ciri atau ukuran orang yang dikatakan moderat: 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif pada budaya lokal.
Empat indikator moderat di atas, menjadi ukuran seseorang untuk bagaimana ia menjalani kehidupan bermasyarakat. Begitu halnya dalam politik, seseorang haruslah bersikap moderat menjalankan demokrasi di Indonesia. Ukuran awal ialah dapat berkomitmen terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian ia dapat bertoleransi pada perbedaan pilihan politik.
Konsep Politik al-Farabi dan Gagasan Kiai Sahal
Umat Islam sebagai masyarakat Indonesia dengan kategori pemeluk agama terbanyak, mengalami dinamika politik. Pasca reformasi, Indonesia bergerak menuju harapan sebagai negara yang maju dari aspek sosial, politik dan kehidupan antar suku beragama. Di tahun 2016-2017, muncul politik identitas yang terjadi jelang pemilihan kepala daerah atau gubernur DKI Jakarta. Banyak sekali kajian yang memang memfokuskan pada fenomena tersebut yang dikaitkan dengan perilaku politik yang dikaitkan dengan agama, sehingga muncul istilah "politik identitas".
Endang Sari dalam Jurnal berjudul "Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta", mengungkapkan bahwa kebangkitan politik identitas sengaja dihadirkan oleh para elit politik untuk meraih kekuasaan serta membangun psikologis umat Islam dari citra diri sebagai sesama muslim dan perasaan harga diri karena agamanya dinistakan. Ia merekonstruksi argumentasi Frederick Barth yang mengatakan agama dan etnisitas cenderung berubah dan batas keanggotaan etnik mengalami negosiasi-negosiasi tergantung situasi. Negosiasi-negosiasi identitas itu ditunjukkan dengan eksploitasi simbol-simbol budaya dan perilaku etnik tertentu atau sesuai kepentingan pribadi.
Fenomena yang terjadi memang menimbulkan dinamika bagi masyarakat. Terlebih setiap momentum pemilihan umum. Setiap pelaku politik sering menggunakan narasi-narasi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Oleh karena itu, masyarakat beragama harus memiliki pedoman dalam berpolitik.
Al-Farabi telah memberikan konsep al-Madinah al-Fadhilah atau Negara Utama. Dalam konsep al-Madinah al-Fadhilah, masyarakat hidup untuk saling membantu satu sama lain, untuk mencapai kepentingan bersama yakni kebahagiaan. Konsep ini muncul dari pemikiran Al-Farabi tentang bentuk kenegaraan dalam harmoni agama dan filsafat. Ia meneladani kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai penyampai risalah dan khalifah di muka bumi. Sikap Rasulullah itulah yang dijadikan tolok ukur Al-Farabi mengenai konsep kenegaraan.
Adapun ciri al-Madinah al-Fadhilah antara lain: pertama, ideologi warga negara. Dalam hal ini, Pancasila sebagai ideologi menjadi ciri utama bagi masyarakat Indonesia. Kedua, Akhlak atau integritas. Di sini, Al-Farabi meyakinkan pemikirannya pada akhir tujuan akhlak adalah kebahagiaan total (kemaslahatan), baik itu bersifat materil dan spiritual. Dan yang ketiga, keragaman. Bahwasanya, Al-Farabi juga bercita-cita untuk persamaan dan persatuan antar sesama manusia. Maka dari itu, untuk menguatkan perspektif kita pada kondisi menghadapi tahun politik, umat Islam harus mengarusutamakan tiga ciri yang digagas oleh Al-Farabi tersebut.
Kemudian pandangan "Kulturisasi Politik" dari Kiai Sahal Mahfudh mengenai Islam dan politik. Dalam konteks Indonesia, Kiai Sahal menyatakan ada korelasi yang telah jelas antara Islam dan politik. Khususnya pada penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Melalui pendekatan fikih, Kiai Sahal menggagas hubungan Islam dan politik. Dasar yang digunakan selain Al-Qur'an dan Al-Sunnah, Kiai Sahal merumuskan kaidah-kaidah politik yang sangat cukup dan dapat dijadikan pedoman untuk kalangan muslim.
Kiai Sahal juga berpendapat, politik tidak hanya merebut posisi di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi lebih dari itu, yang meliputi kemaslahatan umat dalam kehidupan (baik jasmani dan rohani), serta hubungan antar sesama umat manusia (masyarakat umum dan antara sipil dengan lembaga kekuasaan). Dari konstruksi politik ini, Kiai Sahal menggunakan kaidah fikih; tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus mengarah pada manfaat masyarakat). Dalam arti, setiap pemimpin atau buah dari proses politik adalah untuk kemaslahatan masyarakat.
Sudah seharusnya nilai-nilai Islam menjadi sumber dan faktor penentu budaya politik, tata nilai, persepsi, keyakinan dan tabiat individu atau kelompok dalam aktivitas dan sistem politik. Kiai Sahal menyimpulkan bahwa implementasi nilai Islam pada budaya politik yang Pancasilais, bergantung di kekuatan nilai-nilai tersebut yang memberikan efek proses politik itu sendiri. Karenanya, dalam Islam dianjurkan untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan dalam suatu pemerintahan.