Kita adalah kita. Jelas itu, tak perlu ragu dan bimbang.
Namun dalam hari-hari yang terus berlalu, kita itu siapa...?
Kita bertanya pada siapa...?
Boleh saja setiap kita mengaku kita adalah kita
Tapi jika tidak pernah mau bersama, peduli sesama, trus kitanya kita apaan?
Ternyata, memang tidak mudah. Jika mengaku gampang saja. Semua juga bisa mengaku. Namun yang jadi persoalan adalah pengakuan dari yang lain.
Kita jelas tak bisa sendiri. itu pasti.Â
Tak mampu sendiri, mesti ada orang lain yang harus bersama kita.
Sehebat dan sedasyatnya kita, akan tak berdaya juga akhirnya, tanpa peran serta yang lainnya.
Lihatlah sekedar minum seteguk air, berapa puluh, bahkan ratus orang yang harus terlibat.Â
Jika sudah begitu, masih berani mengaku hebat. Hebat apaan...?
Dalam perjalanan yang penuh aneka rasa dan peristiwa ini, jika kadang terantuk dan terbentur kesalahan itu biasa.
Dan itu akan menjadi luar biasa, jika kita mau mengakui kesalahan dan kekurangan. Hal tersebut dilakukan agar ada nuansa saling mengingatkan dan memperbaiki diri.Â
Tak usah marah, ngamuk dan benci kalau ada orang yang masih begitu peduli terhadap kita. itu artinya, terbentang peluang emas perbaikan. Justru harus lebih banyak bersyukur
bahwa perjalanan yang begitu panjang akan terselamatkan.
Namun, kegoan diri alias kesombongan sering jadi belenggu hati. Menutup mata, telinga, pikir dan hati dari segala kritik, saran dan arahan. Kita merasa haqqul yakin berada pada jalur yang selalu benar. Hingga tanpa sadar yang kita lakukan bukan membangun peradaban penuh tatanan, tetapi justru yang kita bangunkebiadaban penuh kedholiman.
tetapi sudahlah....
Sekian dulu...
Menengok rumah setelah ditinggal pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H