Mohon tunggu...
SUWARSONO
SUWARSONO Mohon Tunggu... Guru - Suka Nulis Fiksi

Pakai nama Pena Mas Sono,Lahir di Mojokerto, lama kuliah dan kerja di Kota Malang, sekarang pulang kampung ke Mojokerto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetap Dosen

14 November 2020   20:26 Diperbarui: 14 November 2020   20:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wisuda mahasiswa entah yang ke berapa dilaksanakan dengan kemeriahan yang luar biasa. Aku duduk di deretan depan kursi undangan karena aku menjabat sebagai ketua prodi bersama dengan semua pejabat dan dosen fakultas lainnya. Kami merasakan kebahagiaan yang dirasakan mahasiswa yang sudah berjuang belajar selama 4 tahun untuk meraih gelar sarjana.

Satu demi satu acara seremonial selesai dan tibalah acara pemberian penghargaan bagi dosen yang melanjutkan studi. Ada cukup banyak dosen yang mengambil program magister atau S2 karena dosen kala itu minimal harus berpendidikan S2. Aku salah satunya.

Kami diminta berdiri di depan para undangan menghadap pejabat rektorat. Kemudian rektor memberikan ucapan selamat dan selembar map yang ternyata berisi buku tabungan yang nilainya tidak seberapa.

"Selamat mengabdi di kampus ini," ucap Rektor sambil menjabat tanganku.

"Terima kasih," jawabku.

***

Dinamika perguruan tinggi terus bergerak. Setelah mendapatkan nilai Akreditasi B untuk Prodi tempatku mengajar, semua dosen semakin bersemangat melaksanakan tri dharma perguruan tinggi. Mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat semakin ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Euforia mendapat nilai baik masih dirasakan semua civitas akademika.

Namun, hal itu tak bertahan lama ketika tiba-tiba rektorat menyampaikan berita bahwa dosen yang merangkap sebagai guru (PNS) harus memilih salah satunya.

"NIDN dan NUPTK bentrok," kata temanku.

"Kalau harus memilih, tentu saja aku memilih melepas dosen," jawabku.

"Ya, tentu saja. Pegawai negeri jelas lebih menjanjikan daripada menjadi dosen swasta di kampus ini," kata temanku.

"Kita hanya second job di sini," tambahku.

Maka sejak itu statusku sebagai dosen tetap yayasan harus aku relakan berubah menjadi dosen luar biasa, sebutan untuk dosen tidak tetap. Sejak itu pula banyak orang melamar menjadi dosen di kampusku.

"Mari sekolah malah di-PHK," curhat temanku.

"Masih tetap diberi jam Pak," jawabku.

"Masa?"

"Iyalah, masa kacang lupa kulitnya?" jawabku.

"Bapak masih kaprodi?"

" Ya saat ini. Tapi entah besok atau lusa."

***

PR I memanggil para Kaprodi dan Sekprodi hari ini. Aku tahu agenda rapat pasti suksesi. Suka atau tidak suka pejabat fakultas yang hampir semua PNS harus meletakkan jabatan.

"Perintis memang tidak pernah menikmati kemerdekaan," kata PR I.

"Para pembabat alas hanya akan dikenang saja," kataku.

"Ah, tidaklah. Bapak-bapak tetap mengajar seperti biasa. Untuk Dekan kami yang menyiapkan pemilihannya, sedang untuk kaprodi dan sekprodi, cukup diusulkan nama-nama. Nanti juga kami yang melaksanakan fit and proper.

"Waktu?" tanya Kaprodi Matematika.

"Dalam semester  ini suksesi harus berjalan. Nanti tahun akademik baru sudah serah terima dan pelantikan," jawab PR I.

"Insyaallah," jawab kami tak bersemangat."

***

Keluar dari ruang PR I, tidak tampak kesedihan di antara kami. Mungkin sedih dan kecewa disimpan di dalam hati.

"Bagaimana setelah ini?"

"Back to barac!" jawabku.

"Memang sebaiknya kita tidak serakah. Sudah menjadi guru PNS kok masih merebut piring orang. Biarlah kita berbagi," ujar temanku yang Sekprodi.

"Ya... lihat saja nanti. Aku tak post power syndrom."

"Semoga Universitas ini semakin maju. Karena dosennya bisa 100 persen mengabdi, sedang kita kan cuma 50 persen."

***

Hari yang tak ditunggu itu pun tiba. Di lokerku ada sebuah undangan dari yayasan dan rektorat. Kubaca acaranya. Di sana tertulis: Sertijab. Aku lipat kertas undangan itu dan aku masukkan ke saku celanaku. Ya, saat itu telah tiba. Jabatanku, yang kuraih dengan kerja keras, mencurahkan tenaga dan pikiran mulai dari merintis sampai akreditasi harus aku serahkan kepada penggantiku, dosen baru yang tak merasakan suka duka mendirikan prodi ini. Dia tinggal meneruskan dan menjalankan saja.

Dengan tetap tersenyum aku berangkat ke aula sertijab.

"Bagaimana siap jadi dosen biasa?" tanya rekan dari fakultas lain.

"Siap saja. Biar tidak dosen tetap asal tetap dosen," jawabku.

"Hahaha," tawa kami meledak.

Menertawakan diri sendiri memang paling mudah untuk sekedar menghibur diri. Beberapa undangan terusik dengan tawa kami. Mungkin heran. Tapi kami cuek saja. Tertawalah selagi bisa.

***

Sertijab berlangsung cepat karena acara dilanjutkan dengan rapat pembagian jam perkuliahan.

Pada rapat seperti ini sebelumnya aku duduk di depan dan memimpin rapat bersama sekretaris prodi. Namun, sekarang aku hanya dosen biasa. Duduk di belakang.

"Sebelum rapat dimulai kami mohon bapak mantan kaprodi untuk ke depan, duduk di sebelah saya," kata Kaprodi baru.

Aku beranjak ke kursi yang disiapkan. Ada dua, untuk kaprodi lama dan baru. Ketika aku diminta memberi sambutan, aku hanya memberikan ucapan selamat dan harapan agar prodi semakin maju.

"Mari kita dukung pejabat baru, dan insyaallah kita masih bersama, entah sampai kapan," kataku mengakhiri sambutan singkat.

Rapat dimulai dan semua dosen mendapat mata kuliah yang diampunya. Masih belum tampak perbedaan antara dosen tetap dan dosen tidak tetap.

"Bagaimana Cak?" tanya teman dosen yang sama-sama terdampak kebijakan itu.

"Tetap dosen," jawabku sambil tersenyum.

"Ya, meskipun tak lagi dosen tetap, yang penting tetap dosen," tegasnya.

"Sekali dosen, tetap dosen."

Begitulah. Sampai kisah ini ditulis aku masih mengajar di perguruan tinggi swasta itu. Aku masih dosen. Aku tetap dosen.

                                     Mojokerto, 14 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun