Hal ini jelas sangat mendegrdasi makna demokrasi. Jauh konsep dan hasil dari kajian dalam Lijphart Arend. (1984). "Democracies : Patterns of Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries".
Demokrasi jika dianggap sebuah pilihan dalam bernegara seperti di Indonesia idealnya sangat menjunjung tinggi konstitusi sebagai panglima dan fondasi dalam proses penyenggaraan bernegara.Â
Presiden sebagai harapan peredam suara dan penengah atas konflik tersebut justru juga tampak main dua kaki (pernyataan Presiden tanggal 5 Maret 2022). Tidak tegas. Justru memberikan sinyal penundaan adalah sah saja. Pernyataan Presiden tidak menunjukan kapasitas sebagai strong leadership.
Walaupun ada celah dan cara dalam penundaan pemilu, bukan berarti cara tersebut akan dibiarkan berjalan mulus dan terealisasi. Setuju dan menggangukan kepala terhadap adanya penundaan adalah bentuk kejahatan konstitusi yang tersismatis. Ikut merusak negara. Menghianati amanah reformasi dan tidak menunjukan sikap etika yang baik dalam bernegara. Cara yang dianggap legal secara politik adalah hakikatnya ilegal dan mengarah  pada tindakan inkonstitusional berjamaah.
Demi tegaknya martabat konstitusi dan dalam menjaga marwah demokrasi, sudah sewajarnya penundaan pemilu harus kita tolak keras. Jika suara publik dari berbagai kalangan baik akademisi, praktisi, dan aktivis serta berbagai pihak lainnya tidak menyuarakan penolakan, bukan tidak mungkin penundaan pemilu akan benar terwujud. Jika hal ini terealisasi, maka sudah jelas penghianatan terhadap konstitusi benar adanya dilakukan oleh para penjahat konstitusi. Mari kita tolak dan lawan.
Penulis : Saifudin atau Mas Say
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H