Langkah selanjutnya yang dianggap Presiden extra ordinary adalah bisa saja mengeluarkan Perppu. Selama masa Pandemi sudah dikeluarkan dua kali yaitu Perppu Pandemi dan Pemilukada.Â
Semuanya dikeluarkan Presiden karena dianggap telah memenuhi klausula konstitusi "Kegentingan Yang Memaksa", sehingga perlu dikeluarkan Perppu. Perppu ini dianggap dapat menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di luar kewajaran penegakan hukum.
Pembubaran lembaga
Berkaitan ide pembubaran lembaga ini tidak boleh asal-asalan. Dapat dipertimbangkan legalitas termasuk efesiensi kelembagaan tersebut. Memang dapat dimaklumi pembebanan biaya negara dari APBN makin banyak yang dikeluarkan terhadap lembaga-lembaga.Â
Pertimbangan lain non yuridis juga harus menjadi bahan evaluasi. Jika serta merta tanpa pertimbangan yang baik justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi penegakan hukum.
Reshuffle
Kebijakan dengan reshuffle ini sangat wajar mengingat sudah hampir 1 tahun sejak kabinet terbentuk belum ada pergantian. Sedikit flash back, dalam pandangan Penulis setidaknya ada empat kali (4x) proses bongkar pasang kabinet di periode I Kabinet Kerja. Ada 2 kali bersifat real (Agustus 2015 dan Juli 2016).Â
Hal ini didasarkan memang terlihat dari inisiatif Presiden dalam perombakan kabinet. Ada wajah baru. Ada juga yang cuma mengalami pergeseran posisi saja.Â
Ada 2 kali karena keadaan tertentu (Januari dan Agustus 2018). Ada pergantian Mensos dan pengangkatan kepala KSP dan Pengisian jabatan Kemen PAN RB serta pergantian lagi Kemensos karena Mensos tersandung kasus korupsi.Â
Pada Januari 2018 tersebut terjadi karena keadaan. Menteri mundur dan harus diisi dengan penggantinya dari Parpol koalisi. Selain itu juga terjadi karena perubahan peta politik menjelang Pemilu tahun 2019. Parpol yang semula mendukung dan berada dalam pemerintahan menjadi oposisi berada di luar pemerintahan karena berbeda pandangan saat Pilpres.
Tolak ukur kepatutan Presiden dalam kabinet