Kalau pun ada Dewas, biar dapat meminimalisasi konflik kepentingan dan terkesan tidak ada intervensi, Dewas tidak perlu memberikan laporan. Cukup sebagai bahan kajian hukum internal KPK.
Bukankah Dewas ini masuk struktural dalam KPK? Kenapa harus memberikan informasi ke luar kelembagaan segala, mengingat kelembagaan Presiden adalah berbeda dengan KPK.
Kalau pun alasan pembenarnya adalah KPK masuk rumpun eksekutif (state auxilary agency) dan telah dikuatkan putusan MK No.36/PUU-XV/2017, Posisi Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan tidak tepat memposisikan seperti itu. Apalagi jika alasannya untuk memperkuat sistem Presidential.
Ini aneh. Mengacaukan sistem kelembagaan negara. Mendekonstruksi akal sehat berpikir. Meruntuhkan nalar publik dalam pemberantasan korupsi.
Jauh lebih itu, bagi saya adanya "organ pelaksana pengawas" (Pasa 37C UU KPK) yang dibentuk melalui Perpres ini membuat independensi KPK makin diacak-acak. Indikasi intervensi sangat rentan terjadi. Kita tunggu saja Perpres ini nanti akan berisi seperti apa.
Kinerja Penyidik KPK dan pimpinan KPK ini bisa tersandera oleh adanya Dewas. Hal ini terjadi karena proses teknis pimpinan KPK mengajukan permohonan tertulis terhadap penyadapan.
Jika Dewas tidak memberikan izin? Padahal hasil penyidikan sudah meyakinkan potensi adanya tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan penyadapan.
Apa jaminan Dewas saat ini tidak diintervensi? Apalagi masa tunggu diberikan izin dan tidaknya adalah 1x24 jam (Pasal 12B ayat (3) UU KPK). Jeda waktu ini ruang untuk diintervensi.
Kepolisian dan Kejaksaan juga merupakan mitra kerja dalam pemberantasan korupsi ketika ada kalanya KPK bersinergi saat pelimpahan berkas kasus korupsi.
5 Dewas adalah Tumpak H. Panggabean (Ketua merangkap anggota), Albertina Ho, Artidjo Alkostar, Harjono, dan Syamsudin H. Mereka semua tentunya memiliki jejak rekam baik dan berintegritas.
Ada harapan baru. Walau pun sekali lagi persoalannya bukan pada personal. Akan tetapi pada kelembagaan Dewas. Kita tunggu bersama kinerja mereka semua.