Para petani hanya tahu bagaimana menyimpan bibit tanaman. Mereka tidak tahu kalau kegiatannya itu tergolong ke dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati.
Cara mereka menyimpan bibit tanaman pun sangat sederhana. Bahkan mungkin unik. Akan tetapi hasilnya dapat mempertahankan keaslian tanaman ecara turun temurun.
Ketika dunia sedang memperingati Hari Keanekaragaman Hayati. Saya teringat bagaimana orang-orang kampung saya menyimpan bibit. Kebetulan waktu pulkam kemarin, saya mendapatinya.
Petani Tadah Hujan
Gunungkidul termasuk daerah dengan curah hujan rendah. Sekali pun begitu sebagian  masyarakatnya tetap menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian.
Pada umumnya masyarakat menanam padi, jagung, palawija (kacang kedelai) dan singkong. Itupun tanaman padi dan jagung hanya sekali tanam.
Maka petani harus pintar-pintar menyimpan bibit tanaman. Untuk ditanam setahun kemudian. Apabila penyimpanannya asal-asalan. Tumbuhnya bibit tidak akan maksimal.
Metode Pengasapan
Untuk menyimpan bibit. Petani akan memilih padi ulir dan jagung bonggol yang baik. Sudah tua dan bulir besar.
Setelah dipanen kemudian dikeringkan di bawah terik matahari. Selanjutnya padi atau jagung diikat kuat. Untuk bibit jagung tidak harus diikat.
Bibit tersebut seterusnya diketakkan di atas pawon (tempat perapian di dapur). Ada yang dibuatkan para-para. Untuk jagung yang tidak diikat dicanthelkan/digantung pada rangka atap.
Secara tidak langsung, para petani menyimpan bibit tanaman dengan metode pengasapan. Setiap masak otomatis asapnya akan mengenai bibit tersebut.
Cara ini ternyata efektif mencegah kerusakan dari mikroba. Sehingga bibit tanaman aman sampai musim tanam berikutnya.
Sebuah kearifan lokal yang sangat mengagumkan dari ajaran nenek moyang.
Jkt, 220522
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H