Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis Mengiringi Kepergian Citah

14 Juli 2021   20:34 Diperbarui: 14 Juli 2021   20:53 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sastrasipilindonesia.wordpress)

Aku berteman dengan Kang Suto sejak kecil. Jadi tahu watak dan kebiasaannya. Luar dalam.

Seumur-umur baru kali ini. Aku melihatnya meneteskan air mata. Menangis.

Perjalanan hidupnya terbilang keras. Sejak meninggal bapaknya. Kang Suto tumbuh menjadi laki-laki yang kuat.

Sekeras apapun rintangan hidup. Dia menjalani dengan tegar. Tidak pernah mengeluh. Apalagi sampai menangis.

Terlebih-lebih di depan ibunya. Pantang dia mengeluh. Atau sekedar menunjukkan raut muka sedih.

Kang Suto sangat memuliakan ibunya. Orang tua satu-satunya itu dianggap sebagai 2. Harus dipundi-pundi. Selalu dijunjung tinggi.

Ketika harus meninggalkan ibunya. Merantau ke kota besar. Mencari penghidupan yang lebih baik.

Tujuannya semata-mata memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibunya. Bukan untuk kesenangan dirinya.

Jika berkesempatan pulang kampung. Kang Suto akan memanjakan pepundennya itu. 

Membelikan makanan yang diinginkan ibunya. Menuruti pepinginan ibunya. Apa saja. Dia berusaha menyenangkan hatinya.

Karena permintaan ibunya pula. Kang Suto sekarang tinggal di kampung. Menemani hari-hari tuanya.

                                    **

Tampangnya memang sedikit sangar. Kelihatan garang. Tapi hatinya lembut. Sangat lembut.

Orangnya tidak tegaan. Terhadap semua orang. Hatta terhadap seekor binatang sekalipun. Semuanya dianggap kawan.

Seperti suatu siang. Ketika pulang dari sawah. Dia menolong salah satu kawannya. Hatinya jatuh iba melihat dia lemah tak berdaya. Di pinggir jalan.

Kang Suti menggendongnya. Membawa pulang ke rumah. Memandikan. Kemudian memberinya makan.

Sejak saat itu mereka berkawan akrab. Kemana pun Kang Suto pergi. Dia selalu mengintili jalannya.

Oh ya. Karena ketika ditemukan. Kang Suto tidak tahu namanya. Dia memberinya nama Citah.

Dia memang tinggi besar. Kalau berjalan mirip cheetah. Pandai melompat. Bahkan sesekali memanjat pohon.

Pertemanan mereka tetap langgeng. Sekali pun Kang Suto sudah menikah dengan mbak Sri. Bahkan istrinya ikut-ikutan menyayangi Citah.

Sampai kemudian mati. Tertimba kayu gelondongan.

                                      **

Kang Suto menyeka air matanya. Bangkit berdiri. Berjongkok lagi. Tangannya mengelus gundukan tanah sepanjang 30 centi meteran.

Hatinya seakan tidak mau terpisahkan dengan binatang peliharaannya itu.

"Sudahlah, Kang." kata istrinya mengingatkan. "Lagi pula Citah kan sudah ada anak-anaknya."

Kang Suto tersenyum. Buru-buru mengajak pulang mbak Sri. Gerimis mulai menetes.

Lamat-lamat Kang Suto mendengar anak-anak Citah memanggilnya. 

"Meooong..."

Jkt, 150721

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun