Aku jadi merasa kasihan. Seperti para tetangga lainnya. Kami sudah mencapnya sebagai perempuan bengal.
Perempuan itu baru seminggu ini tinggal di kampung kami. Mengontrak rumahnya bang Mamat.
Setiap selepas Isya'. Dia keluar rumah. Meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil.Â
Sebenernya dandanannya tidak menyolok. Biasa saja. Pakaiannya masih sopan. Riasan wajahnya juga sekedarnya saja. Tanpa gincu.
Cap sebagai perempuan bengal. Gegara istri salah seorang tetangga. Entah kenapa dia menghembuskan isu panas itu.
"Apa namanya kalau bukan perempuan bengal. Setiap malam keluar rumab?"
Ibu-ibu yang lain pun mengamini. Tanpa mengecek kebenarannya. Mereka mengikuti arus yang berhembus saja.
Sebenarnya. Ada juga beberapa ibu yang tidak sependapat.
"Masasi. Penampilannya kan biasa saja." tanyanya.
"Orangnya juga ramah." yang lain menimpali.
"Apa iya. Jadi nggak yakin."
                **
Sesuai kesepakatan para bapak. Aku dan seorang tetangga ditugasi menyelidiki. Mencari kebenarannya.
Seperti biasa beberapa orang ngobrol di pos ronda. Sambil mengamati situasi. Peejanjiannya akan memberi kode lewat hp jika dia sudah keluar rumah.
Tepat sesuai jadwal. Setengah delapan malam hpku bergetar. Mengabarkan kalau perempuan itu berangkat.Â
Aku menantinya sambil menyalakan motor. Temanku matanya mengawasi pintu gang kampung kami.
Kami bergegas mengikuti ojol yang memboncengnya. Tidak sampai satu jam sampai di tujuan.
Kami berpandangan. Saling mengangkat bahu. Mencari jawab.
"Kenapa ke kuburan?"
                   **
"Lho. Bapak kok ke makam?" tabyanya yang membuat kami tersipu. "Ngikutin saya ya?"
Kami hanya diam. Merasa tidak enak.
"Saya membacakan tahlil dan doa untuk suami. Baru seminggu yang lalu meninggal dunia."
Mukaku serasa ditampar. Keras sekali.
Jkt, 220621
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H