Setelah menarik napas panjang. Kang Suto membuka kisahnya. Bang Pi'i, begitu orang-orang memanggilnya. Nama lengkapnya Syafei.
Dia seorang marbot mushalla kampung. Sekalipun tanpa imbalan bang Pi'i bekerja dengan tekun. Menyapu lantai mushalla, menggelar tikar dan menimba air wudhu adalah sebagain pekerjaannya.
Kalau muadzin berhalangan dia yang menggantikan. Suaranya empuk. Bahkan kadang-kadang dia menggantikan ustadz yang tidak datang. Belajar baca Al Qur'an.
Tapi sejak berdiri megah masjid di pinggir jalan besar perannya tersingkirkan. Orang-orang pun lebih suka shalat di masjid yang baru. Mereka mengabaikan bang Pi'i. Ada marbot baru yang ditunjuk pengurus dan diberikan imbalan bulanan.
Bang Pi'i tetap setia mengurusi mushalla tua. Pekerjaannya pun bertambah. Jadi muadzin. Bahkan kadang kala menjadi imam sekali pun makmumnya hanya satu atau dua orang.Â
"Mushalla ini harus terus ditegakkan." begitu katanya suatu waktu memberi alasan. Mengapa dia masih terus setia mengurusi mushalla. Sampai ajal datang menjemputnya.
Orang-orang seakan melupakan mushalla yang sudah lama ada. Melupakan bang Pi'i yang sudah lama dikenal. Mereka lebih suka datang ke masjid baru yang besar dan megah.Â
Sekedar berziarah ke kuburannya pun tidak pernah ada yang datang. Bahkan tukang perawat kuburan pun tidak ada yang dengan suka rela merawatnya. Mereka lebih memperhaikan kuburan orang-orang bersuit yang membayarnya tiap bulan.
"Jadi hanya Kang Suto yang berziarak ke kiburannya tiap tahun?" tanya Sri.
"Kita pulang sekarang. Hari sudah menjelang senja." ajak Kang Suto.
Jkt, 130521