Apakah benar orang Indonesia butuh ketawa?Â
Saya berpikir bukankah justru sudah terlalu banyak kelucuan di Indonesia? Tengoklah dari pagi sampai tengah malam kita disuguhi lawakan yang super lucu di televisi. Ya si barangkali kadarnya ketawa geli.
Bayangkan seorang komedian papan atas harus berdandan yang aneh-aneh untuk memancing tawa. Kata para pakar kalau melucu masih berkutat pada permainan fisik dan gender itu bukan lawakan. Bukankah itu layak untuk diketawakan?
Kompasianers pasti masih ingat awal-awal merebaknya pandemi covid-19 ada seorang terpandang yang dengan gagah berani ingin menelan mentah-mentah virus corona. Kemudian ada fenomena menarik tentang jenazah covid-19. Satu sisi ada yang menolak wilayahnya menjadi lokasi pemakanan tapi pada masyarakat yang lain pada berebut paksa ingin membawa pulang jenazah covid-19. Saya melihatnya saja sudah bisa ketawa.
Ketika seorang pejabat publik dilantik dan berjanji akan memegang amanah rakyat dengan sebaik-baiknya dan bertekad memimpin di garda paling depan dalam pemberantasan korupsi tentu kita apresiasi. Tapi ketika di tengah perjalanan yang bersangkutan justru terjerat praktek korupsi. Bukankah itu sebuah kelucuan yang membuat kita tertawa? Lagi pula peristiwanya berkali-kali. Jadi kita bisa tertawa terus-menerus kan?
Puncak kelucuan di panggung masyarakat saya pikir ketika Najwa Shihab di acara yang dibawakannya Mata Najwa mewawancarai kursi kosong. Kelakuan Najwa Shihab ini entah karena jengkel atau frustasi tidak bisa menghadirkan nara sumber. Sampai sekarang kalau mengingatnya saya masih ketawa. Getir!
Mentertawakan Diri Sendiri
Kalau menyangkut diri sendiri barangkali ya yang dekat dengan keseharian saya. Dunia mengajar. Apalagi kalau bukan tentang pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh. Pasalnya banyak orang yang gagap teknologi, termasuk saya sendiri.Â
Syahdan ada seorang guru yang marah-marah di depan laptopnya. Guru tersebut mengira anak didiknya tidak mempedulikannya. Kenapa? Sudah berkali-kali menyapa dengan salam tapi tidak seorang murid pun yang menjawab. Sementara di seberang murid-muridnya tampak tersenyum-senyum (tidak berani ketarawa). Selidik punya selidik sang guru mematikan audio (mute)semua  participant. Terang saja gurunya tidak mendengar sepatah katapun dari para murid.