Seperti sudah pernah saya tulis di Kompasiana, pelukan ibu lima puluh tahun lalu itu masih terasa hangatnya sampai saat ini. Kala itu saya yang masih balita, tapi sudah bisa merasakan kasih sayang simbok, sedang meriang. Ibarat seekor induk ayam, dengan sayap-sayapnya beliau menggendong dengan penuh kasih sayang. Nyaman sekali rasanya.
Itulah kenapa sampai saat ini jika pulang kampung saya selalu menyempatkan barang semalam minta dikelonin simbok. Sengaja saya memisahkan diri dari anak dan istri. Masuk kamar simbok. Berbincang sampai kantuk datang. Selanjutnya momen ritual itu yang membuat saya kembali seperti bayi. Lepas sudah semua beban hidup.
Barangkali semua Kompasianer setuju kalau dikatakan pelukan yang paling hangat adalah pelukan seorang ibu. Hangatnya mampu menggetarkan jiwa kita. Menembus pori-pori menyuntikkan berjuta harapan.Â
Makanya kita suka geram manakala mendapati ada seorang anak yang tega menyakiti hati orang tuaya. Menyia-nyiakan ibunya. Bahkan ada yang tega sampai membunuhnya hanya gara-gara tidak dituruti permintaannya. Hati ini terasa tersayat. Miris.
Orang Jawa bilang orang tua terutama ibu, adalah pepunden. Jadi sudah selayaknya sebagai anak untuk memundi, menjunjung tinggi nama orang tua. Hal ini sejalan denga falsafah mikul dhuwur mendem jero, menjunjung tinggi nama orang tua dan mengubur kejelekannya. Tidak harus dengan memberikan kelimpahan harta. Dapat membuat beliau tersenyum setiap saat sudah cukup.Â
Simbok, selamat Hari Ibu.
Jkt, 221220
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H