Melihat simbok (begitu saya memanggil ibu) tersenyum membuat hati adem. Begitu damai.
Senyum yang tulus dan mengalirkan berjuta kasih sayang. Senyum yang menyejukkan hati. Begitu ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu imbalan apapun.
Membuat simbok tersenyum menjadikan hati ini bahagia. Tentu tidak sebanding dengan banyaknya kebahagiaan yang sudah beliau berikan untuk kami.Â
Sebetulnya yang bisa membuat simbok tersenyum sangat sederhana. Melihat anak cucunya sehat dan mendengar kehidupan rumah tangga anak-menantunya tenteram sudah membuat beliau tersenyum. Â
Sesungguhnya sekedar berkabar lewat percakapan telepon pun sudah membuat simbok tersenyum lega. Hanya terkadang dengan alasan sedang  sibuk oleh banyaknya pekerjaan membuat seorang ibu tak lagi menyungging senyum.
Rutinitas pekerjaan sang anak kadang menciptakan tabir. Menghalangi senyum seorang ibu senantiasa tersungging di bibirnya. Wajar kalau kemudian sang anak senantiasa diliputi kegersangan hatinya.Â
Rasanya langit runtuh ketika simbok kehilangan senyumnya karena sakit. Kegelisahan menyelimuti relung hati. Pikiran mengembara ke mana-mana mencari upaya agar simbok kembali tersenyum.Â
Sudah sepatutnya, bukan sekedar pas momen hati ibu, setiap anak selalu berusaha membuat seorang ibu senantiasa tersenyum bahagia.
Pelukan Hangat Ibu
Seperti sudah pernah saya tulis di Kompasiana, pelukan ibu lima puluh tahun lalu itu masih terasa hangatnya sampai saat ini. Kala itu saya yang masih balita, tapi sudah bisa merasakan kasih sayang simbok, sedang meriang. Ibarat seekor induk ayam, dengan sayap-sayapnya beliau menggendong dengan penuh kasih sayang. Nyaman sekali rasanya.
Itulah kenapa sampai saat ini jika pulang kampung saya selalu menyempatkan barang semalam minta dikelonin simbok. Sengaja saya memisahkan diri dari anak dan istri. Masuk kamar simbok. Berbincang sampai kantuk datang. Selanjutnya momen ritual itu yang membuat saya kembali seperti bayi. Lepas sudah semua beban hidup.
Barangkali semua Kompasianer setuju kalau dikatakan pelukan yang paling hangat adalah pelukan seorang ibu. Hangatnya mampu menggetarkan jiwa kita. Menembus pori-pori menyuntikkan berjuta harapan.Â
Makanya kita suka geram manakala mendapati ada seorang anak yang tega menyakiti hati orang tuaya. Menyia-nyiakan ibunya. Bahkan ada yang tega sampai membunuhnya hanya gara-gara tidak dituruti permintaannya. Hati ini terasa tersayat. Miris.
Orang Jawa bilang orang tua terutama ibu, adalah pepunden. Jadi sudah selayaknya sebagai anak untuk memundi, menjunjung tinggi nama orang tua. Hal ini sejalan denga falsafah mikul dhuwur mendem jero, menjunjung tinggi nama orang tua dan mengubur kejelekannya. Tidak harus dengan memberikan kelimpahan harta. Dapat membuat beliau tersenyum setiap saat sudah cukup.Â
Simbok, selamat Hari Ibu.
Jkt, 221220
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI