Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kebo Nyusu Gudhel, Konsekuensi Orangtua yang Gaptek

20 Desember 2020   19:10 Diperbarui: 20 Desember 2020   19:16 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir tahun begini bawaannya pengin mengaca diri. Refleksi tutup tahun.

Oh ya, bingung dengan arti judul tulisan ini ya? Itu sebuah filosofi Jawa. Kebo artinya kerbau, sedangkan gudhel adalah anak kerbau. Jadi kalau diterjemahkan bebas artinya orang tua belajar kepada anaknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwasana saat ini anak-anak secara intelegensia lebih tinggi dari orang tua. Bahasa kasarnya anak lebih pintar daripada orang tuanya. Harus digarisbawahi lebih pintar dalam hal ilmu pengetahuan. Bukan kaya dalam pengalaman.

Falsafah dari para sesepuh yang sudah ratusan tahun itu rasa-rasanya sekarang ini menunjukkan relevansinya. Gegaranya siapa lagi kalau bukan si pandemi covid-19.

Akibat pandemi semua harus dilakukan dari rumah. Bekerja, belajar dan beribadah. Aturan protokol kesehatan salah satunya harus kaga jarak. Konsekuensinya semua kegiatan harus dilakukan dengan memanfaatkan piranti teknologi informasi. 

Komunikasi antar keluarga, belajar atau pertemuan bisnis harus hanya bisa dilakukan secara jarak jauh. Melalui sambungan online. Maka tidak aneh kalau para orang tua yang gagap teknologi harus minta diajari anak-anaknya.

Belajar dari Anak

indonesiantechnology.net
indonesiantechnology.net

Saya masih ingat betul awal-awal pelaksanaan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) harus pontang-panting antara menyiapkan bahan ajar dengan utak-atik aplikasi Google Classroom, G Form, G Document dan Zoom Meeting.

Bagaimana membuat classroom, mengundang siswa, memposting materi dan memberikan penugasan. Begitu siswa selesai mengerjakan tugas gurunya bingung bagaimana membuka dan memberi nilai.

Membuat absen dan soal-soal ltihan atau ulangan harian pun membuat uban semakin hari semakin banyak tumbuh.

Padahal sebetulnya aplikaai semacam Zoom sudah lama ada. Hanya saja para guru dan masyarakat pada umumnya belum terbiasa memanfaatkannya. Masih nyaman dengan mengajar secara tatap muka.

Alasan klasiknya ribet. Memang mengajar dengan bantuan teknologi pada awal waktu perlu repot sedikit. Menyiapkan alat-alat. Kadang butuh waktu sekitar 15 menitan. Kalau mengajar secara konvensional durasi 15 menit sudah masuk tahap awal inti pembelajaran.

Tapi dengan PJJ dari awal sampaj akhir mau tidak mau harus menggunakan teknologi. Dari sinilah proses kebo nyusu gudhel dimulai. Orang tua memaksa anaknya untuk mengajari bagaimana mengoperasikan peralatan dan aplikaai online tersebut.

Namanya faktor U belajarnya bukan sekali ajar terus paham. Perlu berkali-kali. Bahkan sang anak bisa-bisa sampai jengkel bin gondok.

Seiring berjalannya waktu orang-orang tua sedikit banyak sudah bisa mengoperasikan sendiri aplikasi-aplikasi untuk pertemuan atau pembelajaran. Sekarang sudah biasa kalau ada emak-emak bilang baru ngezoom sama bu lurah membahas imunisasi balita atau isu-isu kesehatan lingkungan. Keren kan?!

Saya selalu setuju dengan ungkapan setiap peristiwa selalu ada hikmah di baliknya.

Jkt, 201220

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun