Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Kepahlawanan Karno

10 November 2020   23:18 Diperbarui: 10 November 2020   23:32 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: blog.hadisukirno.co.id

Perang tanding antara Arjuno dan Karno pada dunia pewayangan layak menjadi renungan dalam memperingati hari pahlawan. Siapakah pahlawan itu?

Dalam salah satu episode perang besar Bharatayudha antara pasukan Kurawa dan Pandawa tersebutlah perang hidup mati antara saudara kandung, Arjuno dan Karna.

Arjuno merepresentasikan kebaikan di pihak kerajaan Amarta pimpinan Prabu Yudhistira dan Karno mewakili sifat buruk di kubu Astina di bawah pemerintahan Duryudono.

Sesungguhnya kedua panglima perang ini masih ada pertalian darah. Mereka saudara satu ibu Kunthi Nalibroto dengan dua bapak, Pandu Dewanoto dan Batara Surya.

Arjuno adalah anak sah dari ibu Kunthi dan Pandu. Sedangkan Karno adalah anak sulung ilegal dari Kunthi dan Dewa Surya. Gegara ajian pameling apa yang diimpikan Kunthi menjadi kenyataan hamil oleh mimpi basah Dewa Matahari.

Untuk menutupi aib tersebut bayi Karno dihanyutkan di sungai dan diketemukan oleh seorang kusir kerajaan Adiroto. Setelah dewasa dia mesuk menjadi prajurit kerajaan Astina. Sampai akhirnya Karno mencapai jabatan tertinggi militer sebagai panglima perang.

Menyadari akan terjadinya perang antar saudara kandung, kakak-adik, Kunthi sebagai seorang ibu secara naluriah tidak menginginkan salah satu anaknya tewas dalam peperangan.

Kunthi kemudian melobi anak sulungnya Karno agar mau mengalah kepada adiknya Arjuno. Sebagai ksatria tentu saja Karno menolak permintaan ibu kandungnya tersebut.

Karno beralasan dia mempunyai utang budi kepada Duryudono yang telah memberinya kedudukan dan masyarakat Astina yang telah menganggapnya sebagai saudara.

Tak pelak pertarungan sengit dengan senjata panah pun terjadi. Mereka berperang di atas kereta yang ditarik kuda yang dikendalikan seorang kusir. Prabu Salyo di pihak Karno dan Prabu Krisna di kubu Arjuno.

Karena keduanya berguru kepada satu orang ahli memanah Durno, maka kekuatan dan kepandaian memanahnya seimbang. Plus ada sisi kemanusiaan yang menyertainya, dalam hati mereka tidak mau saling melukai saudara kandungnya.

Melihat gelagat yang tidak baik bagi kemenangan Pandawa maka Krisna sebagai kusir menyentakkan kendali kudanya sehingga anak panah Arjuno tidak sengaja terlepas dan mengenai leher Karno. Tewas seketika.

Karno bukannya marah kepada adiknya Arjuno tapi justru merasa bangga. Dirinya telah gugur di padang Kurusetra sebagai pahlawan Kurawa. Tugasnya sebagai panglima perang telah ditunaikan. Tidak ada kebanggaan sebagai seorang prajurit perang kecuali gugur di medan laga.

Benarkah Adipati Karno gugur sebagai seorang pahlawan?

Peristiwa Pembantaian Wesrterling

tirto.id
tirto.id

Untuk lebih memperluas persepsi barangkali kita bisa belajar dari peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Westerling di Sulawesi Selatan tahun 1946.

Ribuan orang tewas akibat kekejaman pasukan yang diperintahkan oleh Westerling untuk memusnahkan penduduk yang menentang pemerintahan di Hindia Belanda.

Keberhasilannya memberangus kaum pemberontak menurut versi penjajah menempatkan dirinya sebagai pahlawan. Sementara bagi bangsa Indonesia jelas-jelas dia sebagai penjajah kejam.

Buku kepahlawanan Multatuli

sumber: kompasiana.com/isz.singa
sumber: kompasiana.com/isz.singa

Satu lagi cerita kepahlawanan dari sudut yang berbeda. Seorang Belanda yang mengaku bernama Multatuli (belakangan diketahui nama aslinya adalah Eduard Douwes Dekker) yang menulis buku Max Havelaar. 

Buku yang mengguncang pemerintahan kerajaan Belanda pada tahun 1859 itu menempatkannya sebagai seorang pengkhianat. 

Multatuli dianggap menyebarkan berita perlakuan buruk kerajaan Belanda di daerah jajahan. Sontak saja dia menjadi orang yang tidak diterima di negaranya.

Hal yang sebaliknya tentu, dalam tanda kutip, dianggap sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia. Berkat bukunya tersebut kemudian menjadi inspirasi munculnya politis etis.

Jadi sah-sah saja penduduk Amarta mempertanyakan kepahlawanan Adipati Karno. Seperti kita juga mempertanyakan kenapa tentara yang begitu kejam dengan membantai penduduk Sulawesi Selatan dianggap sebagai  pahlawan di negaranya ?

Kita pun sah juga mengklain Multatuli yang notabene orang Belanda sebagai pahlawan setidaknya secara kemanusiaan.

Wallohu'alam.

Jkt, 101120

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun