"Kakak, boleh aku ikut main?" tanya gadis kecil berambut panjang itu dengan mimik memelas.
"Boleh. Sini ayo kita main bareng," jawab anak gadis itu tetap main congklak tanpa melihat ekspresi pucat gadis kecil berambut panjang tersebut.
Sejenak kemudian mereka asyik congklak bersama sambil mengobrol.
"Kamu rumahnya mana ?"
"Rumahku di sini."
"Di sini mana. Ini kan rumahku."
"Ya dulu ini rumah kami sebelum orang tuamu menebangnya dan membangun rumah kalian!"
        **
"Kakak mau ke mana?"
"Aku mau ke sekolah."
"Apa itu sekolah. Di mana ada sekolah?"
Dinda, gadis kecil itu terbengong-bengong. Masa gadis berambut panjang teman barunya tidak tahu sekolah.
"Kak, boleh aku ikut ke sekolah?"
"Tidak boleh. Kamu pulang saja sana."
"Yaudah aku nunggu kakak di rumah aja."
         **
"Mas, ponakanmu itu lho," kata adik perempuanku.
"Dinda kenapa," tanyaku.
"Suka ngomong sendiri!"
"Ya baguslah suka ngomong. Pengin jadi penyiar tivi kali," jawabku asal saja yang membuat adikku sewot.
Bukan begitu, mas. Dinda itu suka ngomong sendiri. Katanya punya teman yang suka ngajak main. Sambil bermain mereka sambil mengobrol. Kata Dinda temannya rumahnya di sini juga, jelas adikku tentang kebiasaan baru ponakanku itu.
Dari masih kecil aku memang melihat ponakanku yang satu ini berbeda dengan ponakan-ponakanku yan lain. Dia bisa melihat makhluk kasat mata. Indigo!
"Memang Dinda punya teman baru ya," tanyaku mencoba menyelidiki.
"Iya pak dhe."
"Sapa nama temenmu itu?"
"Dita namanya"
"Di mana rumahnya?"
"Katanya si di dalam rumah Dinda!"
Aneh ya pak dhe. Kan rumah dinda di dalamnya tidak ada rumah. Katanya rumahnya ada di bawah pohon beringin besar. Tempatnya adem. Orang tuanya katanya sudah lama pergi. Jadi dia tinggal sendirian. Makanya dia suka ngajak Dinda main, ponakanku menjelaskan teman barunya.
"Kapan dia suka ngajakin main Dinda?"
"Dita maunya ngajak main mulu pak dhe. Dinda mau sekolah aja dia pengin ngikut."
"Kadang dia maksa ngajak mainnya. Dinda jadi tidak bisa belajar."
"Dinda tidak menolak ajakannya?"
"Kalo aku nolak, dia marah pak dhe. Matanya jadi merah. Mukanya putih kayak tembok. Rambutnya berdiri semua kalo sudah marah."
"Dinda tidak takut?"
"Sedikit. Kalo dia lagi marah."
"Terus maunya Dinda gimana?"
"Nggak apa-apa si ngajak main. Dinda kan jadinya ada temannya. Cuma kalo dia marah giti Dinda jadi tidak suka."
"Apa boleh pak dhe usir dia?"
"Kasih tau aja pak dhe. Jangan suka maksa ngajak main. Dinda kan mau ngerjain PR juga. Pengin istrahat kalo sore. Malam-malam juga bukan waktunya main," pintanya.
"Ya udah kalo gitu maunya Dinda."
Ni pak dhe kasih bawang putih. Kalo dia maksa ngajakin main congklak ganti aja biji congklaknya dengan bawang putih ini, kataku menjelaskan kepada ponakanku.
"Emang dia takut ya pak dhe dengan bawang putih?"
"Dinda suka nggak dengan bau bawang putih?"
"Nggak !"
Aku tak lagi bertanya kepada ponakanku. Segenggam bawah putih tunggal aku diberikan kepadanya untuk sekedar berjaga-jaga saja.
Jkt, 201020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H