Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Telur Asin

6 Oktober 2020   23:56 Diperbarui: 7 Oktober 2020   00:05 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragis !

Aku harus menerima kenyataan pahit. Sebagai petahana dalam pilkada aku dipecundangi oleh kandidat karbitan. Lebih menyakitkan lagi kandidat yang memenangi pilkada itu adalah istri mudaku sendiri.

Gegara jatuh terkena stroke saat kampanye akhirnya aku batal mengikuti tahapan pilkada. Maka jadilah dia sebagai satu-satunya kontestan. Menang !

Sekarang dia yang menjadi kepala daerah menggantikan kedudukanku. Sementara aku menjadi pesakitan yang hanya bisa duduk di kursi dorong.

Keberadaanku pun seolah sudah tidak diharapkannya. Aku dibiarkannya merana. Dia sama sekali tidak memesulikan aku lagi.

"Ni untuk makan pagi, siang dan makan malam", katanya sambil menyerahkan sebakul nasi dan 3 butir telor asin.

Ya sehari-hari menu makanku adalah nasi putih dan telor asin. "Biar praktis", begitu jawabnya ketika aku menanyakannya kenapa menuku selalu itu-itu saja.

**

Setelah menduduki jabatan kepala daerah kelakuannya semakin tidak terkontrol. Agendanya setiap hari shopping dan pelesiran melulu. Tugas-tugas pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada wakilnya.

Sebenernya masyarakat kecewa dengan kinerjanya tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka takut dengan asisten -asisten pribadinya yang selalu bergentayangan mengawasi gerak-gerik masyarakat yang akan menyuarakan ketidakpuasan.

Para pembantu setianya itu kadang bertindak berlebihan dan tidak terkontrol. Bahkan kadang tak segan-segan melakukan kekerasan fisik.

Beredar desas-desus kenapa mereka begitu tunduk kepadanya karena mereka setiap saat mendapatkan jatah. Setiap pergi berlibur pasti ada dua atau tiga pengawalnya yang masih muda-muda diajak menemaninya.

Makanya tidak aneh kalau yang paling resah adalah para istri dan kaum perempuan. Mereka kalah saing tentunya. Di samping karena memang parasnya cantik dan punya kedidukan, dia kabarnya juga memakai pemikat.

Para rekanan pemerintah pun mulai banyak yang mengeluh akibat banyaknya upeti yang harus disetorkannya. Kalau tidak mau menuruti permintaannya sudah pasti kontraknya akan dibatalkan.

Dia selalu berkilah, "memangnya maju pilkada tidak mengeluarkan biaya ?". "Lagian kalian kan juga bakal mendapatkan keuntungan lebih dengan melakukan mark up anggaran !".

**

"Bapak harus mengambil tindakan", kata beberapa warga yang menyatroni rumahku. Beberapa dari mereka kulihat matanya berkaca-kaca mengetahui keadaanku.

"Keadilan harus kita tegakkan kembali", kata salah satu warga dengan berapi-api. Kekuasaan harus kita rebut kembali, kata yang lainnya.

"Bagaimana caranya ?", tanyaku. "Keadanku sekarang seperti ini. Tidak memungkinkan aku bergerak lagi."

"Kita harus membuat rencana yang matang", salah satu dari mereka mengajukan usul.

"Ya berul. Jangan grusa-grusu."

"Kita harus punya strategi."

"Ada yang punya ide ?"

"Pake filosofi telur ceplok saja", pendapat seseorang membuat yang lainnya melongo.

"Falsafah apa itu ?"

"Karena sudah larut malam, pertemuan kita lanjutkan besok saja ya. Lagian kalau dia sudah pulang dan tahu kita kumpul-kumpul bisa berabe", kataku.

Mereka pun pulang ke rumah masing-masing dengan seribu pertanyaan apa itu filosofi telur ceplok.

Jkt, 061020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun