Para pembantu setianya itu kadang bertindak berlebihan dan tidak terkontrol. Bahkan kadang tak segan-segan melakukan kekerasan fisik.
Beredar desas-desus kenapa mereka begitu tunduk kepadanya karena mereka setiap saat mendapatkan jatah. Setiap pergi berlibur pasti ada dua atau tiga pengawalnya yang masih muda-muda diajak menemaninya.
Makanya tidak aneh kalau yang paling resah adalah para istri dan kaum perempuan. Mereka kalah saing tentunya. Di samping karena memang parasnya cantik dan punya kedidukan, dia kabarnya juga memakai pemikat.
Para rekanan pemerintah pun mulai banyak yang mengeluh akibat banyaknya upeti yang harus disetorkannya. Kalau tidak mau menuruti permintaannya sudah pasti kontraknya akan dibatalkan.
Dia selalu berkilah, "memangnya maju pilkada tidak mengeluarkan biaya ?". "Lagian kalian kan juga bakal mendapatkan keuntungan lebih dengan melakukan mark up anggaran !".
**
"Bapak harus mengambil tindakan", kata beberapa warga yang menyatroni rumahku. Beberapa dari mereka kulihat matanya berkaca-kaca mengetahui keadaanku.
"Keadilan harus kita tegakkan kembali", kata salah satu warga dengan berapi-api. Kekuasaan harus kita rebut kembali, kata yang lainnya.
"Bagaimana caranya ?", tanyaku. "Keadanku sekarang seperti ini. Tidak memungkinkan aku bergerak lagi."
"Kita harus membuat rencana yang matang", salah satu dari mereka mengajukan usul.
"Ya berul. Jangan grusa-grusu."