Baru lepas 40 hari meninggalnya si mbah, anak cucunya sudah melupakan wasiat yang ditujukan kepada mereka. Rebutan warisan.
Sumber perselisihan keluarga ini adalah uang 10 ribu rupiah yang bergambar Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang diberikan si mbah kepda si Suto. Mereka mengganggap Suto tidak berhak menerima warisan si mbah karena bukan anak keturunan langsung. Mereka juga beranggapan nilai warisan yang diterima oleh Suto lebih besar daripada yang diterima anak-anak si mbah.
Mereka meyakini nilai kesakralan uang tersebut melebihi nilai nominalnya. Anak cucu si mbah itu menganggap ada nilai lain yang lebih besar dalam selembar uang kertas tersebut. Apalagi uang yang bergambar Sri Sultan HB IX, seorang raja yang adiluhung yang menjadi panutan seluruh rakyat Ngayogjakarto.
"Pokoknya uang itu harus kita minta kembali", kata cucu tertua.
"Kitalah yang lebih berhak, bukan dia", timpal cucu yang lain.
Anak-anak si mbah pun akhirnya terprovokasi anak-anak mereka. Mereka mengamini apa yang dilakukan anak-anaknya. Wasiat yang baru beberapa saat itu pun sudah mereka lupakan. Syukuri apa yang mereka terima, jangan iri hati yang diterima oleh yang lain, begitu salah satu wasiat si mbah.
**
"Kalau kalian tetap memaksa, ya sudah nggak apa-apa. Uang ini akan aku serahkan kepada kalian. Aku memang merasa tidak berhak menerima warisan dari si mbah. Tapi kalian kan tau sendiri apa kata si mbah. Beliau mengamanatkan ini kepadaku untuk menyimpannya", kata Suto kepada cucu-cucu si mbah yang meminta uang duit warisannya dikembalikan.
"Tapi ingat ya kalo ada apa-apa aku tidak ikut tanggung jawab ya", lanjutnya.
"Kami siap menanggungnya", kata mereka serempak.
Suto pun segera menyerahkan uang sepuluh ribuan tersebut setelah mengeluarkannya dari dlam dompet lusuhnya.
"Kalo tidak kuat, kembalikan ke aku", pesannya.
Mereka pun pulang dengan rasa senang karena berhasil meminta kembali uang warisan si mbah dari si Suto.
"Ingat nggak tadi apa yang dikatakan Suto ?".
"Kalo ada apa-apa tidak ikut tanggung jawab !".
"Apa maksud ucapan Suto ya ?".
**
Sampai menjelang tengah malam cucu-cucu si mbah masih berdebat siapa yang berhak mendapatkan uang warisan. Bahkan hampir saja terjadi perselisihan kalau saja tidak ditenangkan oleh anak tertua si mbah.
"Ingat wasiat si mbah, kita harus tetap rukun", begitu katanya yang dapat meredam panasnya hati cucu-cucu si mbah.
"Jadi siapa yang berhak atas warisan ini?".
"Akulah yang berhak, karena aku cucu tertua".
"Jelas aku karena aku yang punya ide mengambilnya dari Suto".
"Bagaimana kalo bergiliran".
Suasana hening malam telah muncul, embun pun mulai menetes tetapi kesepakatan belum ditetapkan. Mereka pun tumbang terlelap dalam tidur.Â
"Takut. Takuuuut", kata seorang cucu.
"jangan. Jangaaaan", kata cucu yang lain.
"Ampun. Ampuuuun", kata cucu yang satunya lagi.
Mereka pun terbangun. Mereka bertiga mengalami mimpi seram.Â
Lamat-lamat terdengar suara ustadz dari pengeras suara masjid melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Tandanya menjelang waktu subuh.
Jkt, 300930
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H